Di
satu bagian hutan, dikenal dengan nama Ai’ Membiding, Desa Bantan,
terdapat dua buah makam, yaitu Makam Tu’ Rangga Tuban dan isterinya dan
di Gunung/Bukit Bujang terdapat pula makam, dikenal sebagai Keramat
Bujang. Dari dan untuk ketiga tokoh ini diceritakan tentang kehebatan
Tu’ Rangga Tuban dan Bujang.
MENURUT
cerita yang berkembang di daerah Bantan, Tu’ Rangga Tuban berasal dari
Tanah Jawa. Beliau mempunyai dua isteri dan seorang anak angkat bernama
Bujang. Kehebatan Tu’ Rangga Tuban ini sangat dikenal dan termasyhur ke
seluruh wiayah sekitar Bantan Kecik.
Dalam
kesehariannya, di lengan kiri beliau selalu terpasang sebuah batu asah
yang dikenakan jika akan bertempur menghadapi musuh-musuh yang datang
dari sungai dekat Kampung Bantan, yaitu Ai’ Sapai. Batu asah ini
sekarang masih ada dan jika kita akan mengasah parang di daerah tersebut
memang parangnya akan cepat tajam tapi selalu mengakibatkan luka bagi
pemiliknya atau orang yang mengasah pisau di tempat itu.
Kehebatan
lainnya adalah kepandaian Tu’ Rangga Tuban membuat perahu sehingga di
daerah Bantan ini ada satu tempat bernama Lemong Perahu, yaitu tempat
bekas Tu’ Rangga Tuban membuat perahu.
Satu
hari beliau mengadakan perjalanan ke Palembang, menggunakan perahu
buatannya sendiri. Di sana Tu’ Rangga Tuban sempat membeli seekor burung
puyuh yang sangat lincah. Tu’ Rangga Tuban direpotkan sekali dengan
burung tersebut sehingga pada waktu jam tidur tidak bisa sekejap pun
hanya untuk menjaga agar burung tersebut jangan lepas ke laut. Akibatnya
Tu’ Rangga Tuban baru tidur pada siang hari, sementara penjagaan burung
itu diserahkan kepada awak perahunya.
Setibanya
di Belitung Tu’ Rangga Tuban pun segera pulang dan langsung mengurus
burung puyuhnya. Satu ketika, saat sedang tidak di rumah, burung itu
lepas dari sangkarnya. Lalu Tu’ Rangga Tuban pun berusaha untuk
menangkapnya kembali. Disusunnya batu-batu besar untuk menghalangi
burung itu meloncat dan batu-batu ini sekarang masih ada tersusun
sedemikian rupa sehingga burung puyuh tidak bisa melompatinya. Sekarang
penduduk setempat masih percaya bahwa orang yang mengencingi batu
tersebut akan jatuh sakit. Begitulah di antara kehebatan Rangga Tuban.
Bagaimana
dengan kehebatan anak angkatnya, Bujang? Pendek kata semua
kehebatan-kehebatan Rangga Tuban diturunkan kepada Bujang, sehingga ia
bisa menandingi ayah angkatnya itu. Namun, dasar anak berotot pendekar,
dengan berlatih sendiri, kehebatan Bujang kemudian malah melebihi ayah
angkatnya.
Melihat
hal itu, timbullah rasa takut dan khawatir dalam diri Rangga Tuban.
Karenanya muncul niat jahatnya untuk menghabisi Bujang. Apalagi
difikirnya toh Bujang bukan anak kandungnya sendiri. Ia hanyalah seorang
anak yang diambilnya dari kampung sebelah –yang sebagian penduduknya
adalah orang-orang jahat, berhasil dimusnahkannya.
Karena
niat buruknya itu Bujang pun mendapat perlakuan lain dari biasanya.
Kalau selama ini Bujang benar-benar diperhatikan pergaulannya dengan
penduduk setempat, sekarang ia diberi kekebasan sama sekali. Melihat
perubahan itu Bujang pun jadi curiga. Setelah mengingat-ingat apa yang
telah ia lakukan kepada ayah angkatnya, ia pun merasa tak punya
kesalahan apapun. Ia selalu menghormati ayahnya, walau tahu dari ayahnya
sendiri ia hanya anak angkat. “Barangkali beliau benci merasa tersaingi
dengan kehebatannya dalam ilmu silat atau pun kesaktian lainnya,”
begitu dugaan Bujang.
Tu’
Rangga Tuban juga selalu mencari-cari seteru dengan anak angkatnya itu.
Ada-ada saja yang dilakukannya kepada Bujang. Mulai menyembunyikan
parang milik Bujang hingga membuang tombaknya. Namun, Bujang tak pernah
marah.
Satu
ketika Bujang tidak diberi makan sama sekali oleh Rangga Tuban dan
isterinya. Di sinilah kemudian Bujang merasa kalah. Bagaimana pun ia
adalah anak penurut dan selalu mengikuti perintah orang tuanya.
Misalnya, ia baru akan makan setelah disuruh orang tuanya seusai mereka
makan. Tapi, kali itu tidak. Bujang pun kelaparan. Karena tubuhnya
melemah, ia pun tertidur sambil menahan lapar.
“Berhasil
siasatku,” begitu latah Rangga Tuban. Dengan demikian, pikirnya, semua
harta milik Bujang yang ia peroleh dari perahu-perahu yang dikalahkannya
akan jatuh ke tangannya. Untuk menyembunyikan niat jahatnya itu, Bujang
yang sedang tertidur lelap pun dibawanya ke ume mereka dan ditidurkan
di pondok peristirahatan yang ada di ume tersebut.
Malam
harinya pondok tersebut dibakarnya. Rangga Tuban pun mengatur
seolah-olah pondok itu terbakar tanpa disengaja. Melihat pondok yang
terbakar tersebut, berbondong-bondong penduduk sekitar memadamkan api
yang makin mengganas.
Setelah
api berhasil ditaklukkan, apa yang terjadi dengan Bujang? Begitu api
padam, tanpa diduga-duga, Bujang keluar dari puing pondok yang masih
berasap. Setelah tahu yang terbakar pondok ume-nya bukan rumah tempat ia
tinggal bersama kedua orang tuanya, Bujang pun sadar bahwa ayahnya lah
yang membawanya ke pondok itu, lalu membakarnya.
Bujang
betul-betul heran dengan sikap ayahnya itu. Yang terfikir olehnya,
mungkin ayahnya merasa tak mau dikalahkan siapapun termasuk anaknya
sendiri.
Untuk
mepercepat kehendak ayahnya itu Bujang pun angkat bicara, “Ayah,
sebelumnya aku mohon maaf. Aku sudah tahu sejak lama Ayah menginginkan
nyawaku. Tapi, untuk itu, tak akan ada gunanya dengan mengeluarkan semua
ilmu milik ayah. Sebab aku baru akan mati jika Ayah menusukkan ujung
daun lalang ke jari manisku.”
Tapi,
lanjut Bujang, sebelum dilakukan ia meminta agar permohonannya
dikabulkan. “Kuburkan aku di antara langit dan bumi bersama-sama dengan
hartaku yang ada di rumah. Lalu masukkan lah ke dalam sebuah tajau dan
kuburkanlah di sebelah sisi kiriku. Dan, ampunkan semua kesalahanku,”
itulah permintaan Bujang.
Setelah
mendengar permintaan dan rahasia kelemahan anak angkatnya itu,
segeralah Rangga Tuban mengambil ujung lalang lalu menusukkannya ke jari
manis Bujang. Setelah itu Bujang pun meninggal dunia.
Sesuai
permintaan Bujang, Rangga Tuban pun menguburkannya di atas sebuah bukit
bersama-sama dengan tajau (berisi emas) di sisi kirinya. Dengan
demikian habislah harapan Tangga Tuban untuk memiliki harta Bujang.
Sekarang
tempat dimana Bujang dikuburkan dikenal dengan nama Bukit Bujang dan
kuburannya dikeramatkan orang dengan sebutan Keramat Bujang.
Mengenai
harta Bujang yang ikut dikuburkan, saat ini, dikenal dengan tempayan
Bujang. Pernah suatu waktu, puluhan tahun silam, ada dua orang lelaki
berniat meminta harta tersebut. Maka bertapalah kedua orang itu di
Keramat Bujang. Setelah tiga hari tiga malam, datanglah roh Bujang
menghampiri mereka sambil berkata, “Kau boleh ambil hartaku, tapi harus
menyerahkan darah orang yang kau sayangi.” Sekejap kemudian raiblah roh
Bujang.
Setelah
berfikir sesaat kedua orang itupun kembali ke rumahnya sambil
memikirkan apakah mereka harus menyerahkan darah orang yang mereka
sayangi atau tidak mendapatkan harta yang mereka idam-idamkan.
Akhirnya,
kedua orang ini pun menemukan jalan keluar. Yaitu, memalsukan darah
segar dengan pati samak (getah samak yang berwarna merah mirip darah,
red.). Untuk melaksanakan rencananya, segeralah mereka menebangi batang
samak di sekitar tempat tersebut dan mengumpulkannya dalam sebuah wajan
dan segera menyerahkannya ke keramat Bujang.
Tak
lama kemudian datanglah roh Bujang dan memberi petunjuk agar menggali
sebelah kiri kuburan tersebut. Sekitar tiga jam menggali tampak tutup
tembikar yang tak lain dan tak bukan adalah tutup tempayan Bujang.
Mereka pun segera melebarkan galian hingga akhirnya menemukan tempayan
yang utuh dan mengikatkannya pada sebuah pikulan agar mudah diangkat.
Setelah semuanya beres, dengan bersemangat, mereka langsung turun dari
bukit itu.
Setibanya
di Tebat Bedong, saking gembiranya, pemikul yang berada di depan
berkata, “Eh, rupanya beliau yang di atas itu bisa juga dibohongi. Pakai
pati samak pun kita dapat mengambil harta karunnya, tak perlu pakai
darah segar segala.”
Sekejap
setelah pemikul di depan mengakhiri ucapannya, aneh bian ajaib,
pengikat tempayan itu putus dan mengelinding ke atas bukit serta masuk
kembali ke tempat semula. Sementara tanah bekas galian bergerak sendiri
menutup lobang galian. Hingga saat ini tak satu pun ada yang berani
meminta harta keramat Bujang tersebut.
Narasumber: Selimun, 61 tahun (1986), penduduk Desa Bantan Kecik.
0 comments