Banyak
dari orang-orang yang mulai sadar akan pentingnya shalat masih
mengabaikan perkara thuma’ninah di dalam shalat. Padahal hanya dengan
thuma’ninah seseorang bisa khusyu’. Dan mustahil kekhusyu’an bisa
tercapai dengan ketergesa-gesaan. Karena setiap kali bertambah
thuma’ninah seseorang, maka bertambah pula kekhusyu’annya dan setiap
kali berkurang thuma’ninah-nya maka bertambahlah ketergesa-gesaannya,
sehingga jadilah gerakan kedua tangannya seperti sesuatu yang sia-sia
yang tidak diiringi dengan kekhusyu’an. Dan Allah telah memuji hamba-hamba-Nya yang khusyu’ di dalam shalatnya,
{قَدْ أَفْلَحَ المُؤْمِنُونَ الذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِم خَاشِعُونَ} (المؤمنون: 1-2)
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman ( yaitu) mereka yang khusyu’ di dalam shalat mereka” (Qs. Al Mu’minun; 1-2).
Tapi
alangkah banyaknya kaum muslimin yang melalaikan hal ini. Tidaklah kita
dapati kebanyakan mereka kecuali telah menyia-nyiakan shalat,
menyia-nyiakan rukun-rukunnya, dan meninggalkan thuma’ninah di
dalamnya. Ini adalah perkara yang sangat menyedihkan.
Sungguh
manusia telah menyia-nyiakan shalat sejak zaman Anas bin Malik
Radhiyallahu ’anhu. Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari dari Al Imam
Az-Zuhri, beliau berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik
Radhiyallahu ’anhu di Damaskus dan ketika itu ia sedang menangis. Maka
aku bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis? Ia menjawab, “Aku
tidak mengetahui sedikit pun dari apa yang dahulu aku dapati kecuali
shalat ini, dan shalat ini telah disia-siakan”. Dan dalam riwayat yang
lain, Anas Radhiyallahu ’anhu berkata, “(Sekarang ini) aku tidak
mengetahui sedikit pun dari apa yang dahulu ada pada zaman Rasulullah
”. Kemudian seseorang berkata, “Bagaimana dengan shalat?” Ia menjawab,
“Bukankah kalian telah menyia- nyiakannya?!”
Karena
itu tidaklah kita dapati kebanyakkan mereka shalat kecuali dengan
mematuk. Dan tidaklah mereka berlalu dalam shalat kecuali seperti
berlalunya anak panah. Inilah adalah musibah besar bagi umat ini. Kalau
kita menyaksikan bagaimana mereka shalat, kita akan dapati
penyelisihan-penyelisihan yang sangat banyak terhadap petunjuk Nabi
di dalam shalatnya. Mereka mempercepat bacaan Al-Fatihah hingga tidak
mungkin bagi ma’mum untuk membacanya dengan thuma’ninah dan tadabbur.
Kejadian seperti ini banyak kita temui dalam shalat sirr atau dalam dua
rakaat terakhir dari shalat jahr. Begitu pula di saat ruku’ dan sujud
padahal dalam sabdanya Rasulullah berkata, “Allah tidak melihat
hambanya yang tidak menegakkan punggungnya diantara ruku’nya dan
sujudnya” HR. Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu dan
dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani Rahimahullah Shahih At-Targhib
Wattarhib.
Dan
dalam hadits yang lain, beliau bersabda, “Seburuk-buruknya pencuri
adalah orang yang mencuri shalatnya.” Berkata Abu Hurairah Radhiyallahu
’anhu, “Bagaimana dia mencuri shalatnya?” Beliau bersabda, “Dia tidak
menyempurnakan ruku’nya dan sujudnya” HR. Ath- Thabrani dan lain-lain
dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At-
Targhib Wattarhib.
Dan
beliau juga bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar shalat
selama enam puluh tahun akan tetapi tidak diterima shalatnya. Bisa jadi
dia menyempurnakan ruku’nya tetapi tidak menyempurnakan sujudnya dan
bisa jadi dia menyempurnakan sujudnya tetapi tidak menyempurnakan
ruku’nya” HR. Abul Qasim Al Asbahani dan dihasankankan oleh Asy Syaikh
Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At-Targhib Wattarhib.
Apa
yang beliau sabdakan diatas, seperti itu pulalah kondisi ummatnya
saat ini. Adapun shalat beliau , adalah seperti yang diriwayatkan dari
Al Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu ’anhu bahwasanya ia berkata, “Saya
shalat bersama Rasulullah maka saya dapati berdirinya, ruku’nya,
‘itidalnya setelah ruku’, sujudnya, duduknya diantara dua sujud,
sujudnya, dan duduknya sebelum salam dan pergi (temponya) hampir sama.”
Muttafaqun ‘Alaihi.
Demikianlah
Nabi kita kalau shalat. Rukunya, i’tidalnya, sujudnya temponya
hampir sama, yaitu tidak ada perbedaan yang mencolok sehingga yang satu
lebih panjang dari yang lainnya, sebagaimana hal ini banyak dilakukan
oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang As- Sunnah. Dan
demikian pula petunjuk Nabi di dalam dua rukun i’tidal (i’tidal
setelah ruku’ dan duduk diantara dua sujud) menyelisihi perbuatan
kebanyakan manusia pada zaman sekarang. Telah datang hadits yang
diriwayatkan Abu Daud dari Anas bin Malik Radhiyallahu ’anhu, ia
berkata, “Saya tidak pernah shalat dibelakang seseorangpun yang lebih
ringkas dan sempurna shalatnya dibandingkan Rasulullah , Dahulu
Rasulullah apabila membaca “Sami’allahu liman hamidah” beliau berdiri
(lama) hingga kami berkata, “Beliau telah salah” kemudian beliau
bertakbir dan sujud dan beliau duduk diantara dua sujud (lama) hingga
kami berkata, “beliau telah salah”.
Dan
memanjangkan i’tidal dan duduk diantara dua sujud adalah termasuk dari
sunnah-sunnah Nabi kita yang telah ditinggalkan sejak terputusnya
zaman shahabat Radhiyallahu ’anhu hingga zaman kita sekarang ini.
Berdasarkan
penjelasan tadi kita mengetahui bahwasanya kadar tasbih dalam ruku’,
sujud, dan rukun lainnya, tidak terbatas dengan tiga tasbih saja. Dan
hadits yang menerangkan bahwasanya Nabi bertasbih dengan tiga tasbih
keshahihannya diperselisihkan oleh ulama. Asy Syaikh ‘Abdullah al
Mar’ii Hafidzahullah menjelaskan tentang hal tersebut, “Yang populer di
kalangan manusia bahwa tasbih dalam ruku’ dan sujud dibatasi dengan
tiga tasbih saja, tidak ada dalil yang shahih dan jelas yang
mengikatnya dengan bilangan ini” Dan Ibnul Qayyim Rahimahullah juga
menjelaskan hal yang sama di dalam kitabnya Ash-shalat wa Hukmu
Tarikiha. Dan kalau pun kita anggap haditsnya shahih, Nabi tidak
membacanya dengan tergesa-gesa tanpa tadabbur dan khusyu’ seperti yang
banyak dilakukan oleh ummatnya sekarang.
Sebagai
kesimpulan berkata Syaikh Abdullah Al Mar’ii Hafidzahullah, “Yang
benar dalam hal ini adalah tergantung bacaan (seseorang di dalam
shalat). Kalau bacaannya panjang, ruku’ dan sujudnya juga panjang”.
Kemudian beliau Hafidzahullah melanjutkan, “Yang dimaksud (temponya)
hampir sama, bahwa tambahan bacaan menuntut adanya tambahan tasbih dan
pengurangan bacaan menuntut adanya pengurangan tasbih”
Sesungguhnya
penyelisihan manusia terhadap petunjuk Nabi di dalam shalat teramat
banyak sekali. Karena itu penting bagi kita untuk mengingat-ingat
ucapan Imam Ahlus Sunnah Al Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah,
“Sesungguhnya bagian seseorang di dalam Islam adalah sesuai kadar
perhatian mereka terhadap shalat, dan kecintaan mereka kepada Islam
adalah sesuai kadar kecintaan mereka kepada shalat. Maka kenalilah
dirimu wahai hamba Allah! Hati- hatilah jangan sampai engkau bertemu
dengan Allah sedangkan tidak ada kadar keislaman di sisimu! Karena
sesungguhnya kadar keislaman di dalam hatimu sesuai dengan kadar shalat
di dalam hatimu”. Wallahua’lam bis Shawaab.
0 comments