جَنَّـٰتُ عَدۡنٍ۬ يَدۡخُلُونَہَا وَمَن صَلَحَ مِنۡ
ءَابَآٮِٕہِمۡ وَأَزۡوَٲجِهِمۡ وَذُرِّيَّـٰتِہِمۡۖ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ
يَدۡخُلُونَ عَلَيۡہِم مِّن كُلِّ بَابٍ * سَلَـٰمٌ عَلَيۡكُم بِمَا
صَبَرۡتُمۡۚ فَنِعۡمَ عُقۡبَى ٱلدَّارِ
"(Yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu, )sambil mengucapkan), "keselamatan atasmu berkat
kesabaranmu" Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (QS. Ar-ra'du :
23-24)
Ini
adalah kenikmatan yang sempurna. Para penghuni jannah tidak hanya
mengenyam segala kenikmatan, keindahan dan kelezatan. Namun mereka juga
bisa merayakan kesenangan itu bersama orang-orang dekat yang
dicintainya. Bapak, isteri dan anak cucunya yang beriman. Hal ini
menjadi penyempurna kenikmatan yang dirasakan penghuni jannah.
Di level jannah manakah mereka dikumpulkan?
Mungkin ada yang bertanya-tanya. Bukankah dalam satu keluarga, apalagi
secara turun temurun, masing- masing memilikitingkatan iman dan amal
yang berbeda-beda? Dari yang palin rendah keimanan dan kebagusan
amalnya, hingga yang paling tinggi diantara mereka? Bukankah jannah juga
bertingkat-tingkat derajat dan keutamaannya? Bagaimana mereka
dikumpulkan satu sama lain?
Ibnu katsier Rahimahullah memberikan jawaban saat menafsirkan ayat
tersebut, "Allah akan mengumpulkan mereka semuanya, juga orang yang
mereka cintai di dalam jannah, baik ayah, keluarga, dan anak keturunan
yang pantas masuk jannah dan beriman. Agar mereka merasakan kesenangan,
dan diangkatlah orang-orang yang derajat (jannah)nya paling rendah
menuju derajat yang paling tinggi dikalangan mereka. Ini merupakan
karunia Allah dan kemurahan-Nya, tanpa mengurangi derajat orang yang
paling tinggi derajatnya, sebagaimana firman Allah juga,
"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,
dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. Ath-Thuur : 21)
Ya, mereka akan dikumpulkan di level jannha yang paling tinggi di antara
mereka. Sa'id bin Jubeir Rahimahullah meriwayatkan, "Dari Ibnu Abbas,
aku (Sa'id) menduga bahwa Ibnu Abbas mendengarnya dari Nabi SAW berkata,
"Jika seseorang masuk kedalam jannha, dia bertanya perihal kedua
orangtuanya, isteri maupun anaknya. Lalu dikatakan, "Mereka tidak
mencapai (satu level dengan) derajatmu." Lalu dia berdo'a, "Wahai Rabbi,
aku telah beramal demi aku dan juga mereka." Maka iapun dipertemukan
dengan mereka (menjadi satu derajat)." Kemudian Ibnu Abbas membacakan
Firman Allah diatas.
Jika demikian, alangkah pantasnya dalam sebuah rumah tangga ditegakkan
amar ma'ruf nahi mungkar, dilestarikan pula tradisi "tasaabuq bil
khairaat ; berlomba dalam kebaikan". Agar kelak derajat yang tinggi
dijannah bisa dicapai, dan semua turut melaksanakannya, insya Allah.
Ucapan Selamat Dari Malaikat
Pada saat rombongan orang-orang shalih yang saling mencintai itu masuk
jannah, disambut oleh para malaikat dengan tahni'ah (ucapan selamat)
yang sangat indah , "salaaman alaikum bimaa shabartum", "keselamatan
atasmu berkat kesabaranmu". Tahni'ah ini seakan mengandung jawaban dari
sebuah pertanyaan, "Usaha apa yang mereka lakukan di dunia hingga mereka
bisa masuk ke dalam jannah?" Jawabannya, usaha yang mereka lakukan di
dunia adalah kesabaran. Karena setiap tuntutan keimanan, lini kebaikan
dan amal shalih membutuhkan kesabaran, dan setiap kebaikan pastilah ada
unsur kesabaran didalamnya.
Terlalu sempit jika kesabaran hanya dimaknai dengan ketahanan jiwa saat
menghadapi musibah atau sesuatu yang tidak disukai terjadi. Aplikasi
kesabaran jauh lebih luas dari itu. Amal kebaikan dalam bentuk fi'lul
ma'mur, menjalakan perintah Allah, maupun dalam bentuk tarkul madzkur,
meninggalkan larangan-Nya bisa terwujud lantaran besabaran.
Bahkan sabar dalam menghadapi musibah relatif lebih ringan menurut para
ulama, dibanding kesabaran tatkala menahan diri dari maksiat. Seperti
yang diakatakn oleh Maimun bin Mahran ra, "sabar ketika menghadapi
musibah itu baik, tapi bersabar tatkala menahan diri dari maksiat itu
lebih baik lagi."
Sabar dalam mencegah diri dari maksiat lebih sulit diwujudkan, karena
bersifat ikhtiyari. Terpampang dihadapannya dua pilihan, memilih
pahitnya menahan diri dari kesenangan hawa nafsu, atau mengenyam
manisnya maksiat namun berujung kepada dosa. Berbeda dengan sabar
menghdapi musibah yang bersifat idhthirari, ada unsur keterpaksaan.
Artinya, sabar atau tidak sabar, musibah yang dialami itu tidak bisa
dihindari, karena telah terjadi. Dengan mengeluh, menangis, bersedih
atau bahkan mencela takdir, tidak akan bisa mengulang musibah menjadi
nikmat.
Karena itulah, kesabaran yusuf ketika mneghadapi imra'atul aziz
(Zulaikha) lebih berat dan lebih agung daripada kesabaran beliau saat
dimasukkan kedalam sumur, sabar ataukah tidak, takdir telah terjadi,
beliau sudah masuk sumur. Berbeda denga kesabaran beliau saat menghadapi
zulaikha, jika mau, beliau bisa saja menuruti kecenderungannya yang
memang ada ketertarikan untuk itu.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita
itu.....(QS. Yusuf : 24)
Tapi beliau memilih untuk bersabar karena takut kepada Allah.
Jenis kesabaran yang lain adalah sabar dalam menjalani ketaatan. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berpendapat, sabar dalam menjalani
ketaatan lebih berat dan lebih utama daripada sabar dalam menghindari
maksiat. Karena umumnya al-fi'lu (berbuat) lebih berat dari at-tarku
(meninggalkan). Dan umumnya, perintah itu sesuatu yang berat bagi nafsu,
apalagi tuntutannya harus dilakukan secara istiqamah. Wallahu 'alam.
Yang jelas, seluruh bentuk ketaatan, membutuhkan kesabaran untuk
menjalankannya, sebagaimana kesabaran dibutuhkan juga saat menghadapi
musbiah dan menjauhi maksiat. Semoga Allah memberikan karunia kesabaran
kepada kita, Amin....
Sumber : http://saga-islamicnet.blogspot.com
0 comments