Di sebuah desa ada seorang
bujangan yang sudah lanjut usia alias bujang lapuk yang bernama I Teruna
Tua. Orang ini kira-kira berumur lebih dari lima puluh tahun. Sampai
umur setua itu ia masih melajang, karena ia hanya mau mengambil isteri
apabila ada perempuan yang hari larinya sama dengan dirinya.
Setelah
menunggu bertahun-tahun, pada suatu hari yang bertepatan dengan hari
ulang tahunnya, di desanya ada seorang bayi perempuan lahir. Tiga hari
kemudian, saat si bayi telah lepas tali pusatnya, I Teruna Tua segera
membuat tongkat dari tongkol jagung. Setelah tongkat jadi, ia langsung
menuju ke rumah orang tua si bayi.
Sesampai di rumah si bayi, I
Teruna Tua disambut oleh ayah si bayi: “Oh Kakak datang.” Ayah bayi itu
memanggil Kakak, karena I Teruna Tua lebih tua daripada dirinya.
“Kata orang, isterimu baru saja melahirkan tiga hari yang lalu. Laki-laki atau perempuan?” tanya I Teruna Tua.
“Oh, perempuan.”
“Apakah sehat?”
“Ya sehat keadaannya.”
“Kapan melakukan upacara tanggal tali pusat?”
“Hari ini.”
“Baiklah. Sekarang begini saja. Karena kebetulan hari ini engkau akan melakukan upacara, saya akan menitipkan tongkat di sini.”
“Ya. Silahkan taruh di bawah kolong bale ini!”
I
Teruna Tua lantas menaruh tongkat di kolong bale dan kemudian berkata,
“Tongkat ini jangan diberikan jika ada orang yang memintanya!”
“Tidak,” jawab orang itu.
Setelah berselang beberapa bulan lamanya, I Teruna Tua mendatangi lagi rumah si bayi.
“Kak, mengapa sudah lama tak pernah kemari?” tanya orang tua si bayi.
Tanpa menghiraukan pertanyaan tuan rumah, I Teruna Tua malah balik bertanya, “Sekarang di mana tongkatku? Kenapa tak kelihatan?”
Saat
itu di bawah bale tempat dahulu tongkat I Teruna Tua diletakkan,
dilihat ada banyak sekali rayap yang sedang memakan tongkat. Oleh karena
tongkat sudah hampir habis dimakan rayap, maka I Teruna Tua berkata
pada si pemilik rumah yang bernama Pak Kayan: “Sekarang begini saja Pan
Kayan, karena tongkatku sudah habis di makan rayap, maka rayap itu
menjadi milikku, dan akan kutitipkan lagi di sini.”
Beberapa
bulan kemudian I Teruna Tua kembali lagi ke rumah Pan Kayan untuk
melihat rayap-rayap miliknya. Saat tiba di rumah Pan Kayan, ia melihat
rumah rayapnya sedang dirusak oleh ayam milik Pan Kayan. I Teruna Tua
bergegas menemui Pan Kayan dan segera bertanya: “Aduh, ini mengapa
dihabiskan rayapku oleh ayammu?”
“Aduh, saya lupa mengusirnya?” jawab Pan Kayan.
“Rayapku
habis dimakan oleh ayammu, sekarang ayammu yang kuminta. Tetapi, aku
akan tetap menitipkannya di sini,” kata I Teruna Tua.
Oleh karena
ayam yang sekarang menjadi milik I Teruna Tua adalah betina, maka
lama-kelamaan ayam itu bertelur dan menetas menjadi beberapa ekor anak
ayam. Pada saat I Teruna Tua berkunjung lagi ke rumah Pan Kayan,
ayam-ayamnya sedang berkumpul mencari makan di halaman samping rumah.
Pada waktu itu, tiba-tiba anjing milik Pan Kayan datang menyergap.
Melihat kedatangan anjing itu, induk ayam menjadi marah dan langsung
menyerang. Namun karena ukurannya jauh lebih kecil, maka sang induk itu
pun akhirnya mati diterkam anjing.
Dan, sama seperti tongkat,
rayap dan ayam, anjing milik Pan Kayan itu pun akhirnya menjadi milik I
Teruna Tua. Anjing itu dititipkan lagi pada Pan Kayan. Namun tidak
berapa lama kemudian, anjing milik I Terua Tua mulai berulah lagi. Ia
mengejar dan hendak menerkam anak kerbau yang baru lahir milik Pan
Kayan. Melihat hal itu induk kerbau menjadi marah dan langsung menanduk
si anjing hingga mati.
Beberapa bulan kemudian I Teruna Tua
datang lagi untuk melihat keadaan anjingnya. Setelah bertemu dengan Pan
Kayan, I Teruna Tua diberi penjelasan tentang anjingnya yang telah mati
ditanduk oleh kerbau milik Pan Kayan. Mendengar penjelasan itu I eruna
Tua berkata: “Sekarang kerbau itu pun akan kuambil sebagai ganti
anjingku. Namun karena saya kasihan melihat anak kerbau itu yang masih
kecil, maka saya akan meminjamkan induknya kepadamu.”
Suatu hari
saat Pan Kayan selesai memandikan kerbau milik I Teruna Tua, kerbau itu
kemudian diikatnya di sebuah pohon mangga yang besar dan sangat lebat
buahnya. Namun, nasib naas menimpa si kerbau. Tidak berapa lama setelah
si kerbau ditambatkan, sebuah cabang pohon mangga tiba-tiba patah dan
menimpa si kerbau hingga mati. Pada waktu itu kebetulan sekali I Teruna
Tua melihatnya, “Wah kenapa ini, badan kerbauku terkujur ditimpa pohon
mangga?”
“Wah sial. Patah cabang mangga yang besar ini karena terlalu lebat buahnya,” jawab Pan Kayan.
“Wah, kalau begitu pohon mangga ini akan kuambil sebagai ganti kerbauku,” kata I Teruna Tua.
“Ya. Apa boleh buat. Ambillah,” demikian kata Pan Kayan.
Selang
beberapa tahun kemudian, anak Pan Kayan sudah tumbuh dewasa. Pada saat
itu, secara kebetulan buah mangga milik I Teruna Tua sedang berbuah.
Namun, I Teruna Tua belum juga berkunjung ke sana. Ia hanya mengintai
sampai buah mangganya tinggal dua buah. Saat buah itu tinggal dua buah,
anak perempuan Pan Kayan itu mengambil dan mengupasnya. Belum selesai
mengupas, tiba-tiba I Teruna Tua datang dan berkata: “Mengapa sudah
habis manggaku?”
“Ini masih dua buah,” jawab anak Pan Kayan yang bernama Wayan.
“Siapa yang mengupas?”
“Saya sendiri yang memungut dan mengupasnya,” jawab Wayan.
I
Teruna Tua langsung mendatangi Pan Kayan dan berkata: “Anakmu telah
menghabiskan buah manggaku. Oleh karena itu, dia akan kuambil sebagai
pengganti manggaku.”
“Apa yang akan aku perbuat sekarang?” tanya Pan Kayan.
“Terserahlah, sebab aku melihat sendiri anakmu yang mengupas manggaku.”
“Jika demikian baiklah,” demikian jawab Pan Kayan.
Singkat
cerita, anak itu tidak dititipkan kepada Pan Kayan, melainkan diambil
dan dikawini sendiri oleh I Teruna Tua. Beberapa bulan kemudian,
isterinya hamil dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan.
Suatu hari saat akan menumbuk padi, isterinya berkata: “Pak, tolong bawakan anak kita.”
“Jangan panggil bapak, sebaiknya panggil kakak saja!” kata suaminya.
“Ya Kak. Tolong kakak jaga anak ini, saya akan menumbuk padi,” sahutnya isterinya.
“Baiklah!”
Saat
ditinggal oleh isterinya itu, anaknya selalu menangis. Untuk
menghentikan tangisan anaknya, I Teruna tua kemudian menyanyikan lagu
tentang asal-usul si anak itu. “Diam anakku, ibumu asal mulanya adalah
sebuah tongkat, setelah tongkat menjadi rayap, setelah rayap menjadi
ayam, setelah ayam menjadi anjing, setelah anjing menjadi kerbau,
setelah kerbau menjadi mangga, setelah mangga baru menjadi ibumu
sendiri.”
Mendengar nyanyian itu isterinya menjadi marah serta
melemparkan alunya. Kemudian ia mendatangi I Teruna Tua dan berkata:
“Peliharalah anakmu itu. Aku ini orang hina yang berasal dari tongkat.”
Setelah itu isterinya pergi meninggalkan I Teruna Tua menuju ke rumah
orang tuanya.
Setelah isterinya pergi, I Teruna Tua segera
menyusulnya. Sampai di rumah mertuanya, I Teruna Tua berkata pada
isterinya: “Kasihanilah anakmu. Mari kita pulang!”
“Aku tak akan
ke sana dan menjadi pelayan orang tua bangka sepertimu. Walaupun
dijemput dengan juli emas1 aku tak mau kembali,” demikian kata
isterinya.
Demikianlah, walaupun I Teruna Tua terus membujuk,
namun isterinya tetap tidak mau pulang. Akhirnya, karena putus asa, I
Teruna Tua lalu memberikan anaknya pada mertuanya untuk dipelihara.
Kemudian ia kembali pulang ke rumahnya
Setelah sekian lama
peristiwa itu berlalu, suatu hari mertuanya akan melakukan upacara
ngrasakin2 di bawah pohon mangga yang dahulu menjadi milik I Teruna Tua.
Mendengar mertuanya akan mengadakan upacara, I Teruna Tua yang masih
kesal karena ditinggalkan isterinya berniat akan mempermainkan
mertuanya. I Teruna Tua segera menuju ke rumah mertuanya dan memanjat
pohon mangga itu.
Tidak berapa lama kemudian mertuanya pun datang
dan langsung membakar dupa dan mempersiapkan tepung tawar3 di bawah
pohon mangga tempat I Teruna tua bersembunyi. Setelah itu Pan Kayan pun
berkata: “Dewa Ratu Jero Sedahan Abian, hamba sekarang menghaturkan
tepung tawar majagau.”
“Cek…cek…cek…cek…cek,” sahut menantunya dari atas seperti suara cicak.
“Hamba menghaturkan asap kemenyan majagu dan babi guling supaya Jero Sedahan Abian sudi menikmati baktiku ini,” kata Pan Kayan.
“Cek…cek…cek…cek…cek…cek.
Jika tak disediakan juga satu paha babi guling untuk menantuku, tak
akan kuterima baktimu!” ujar I Teruna Tua dari atas pohon.
“Baiklah, Jero Sedahan Abian. Tatapi, bagaimana caranya saya memberikan paha babi guling pada menantu saya?”
“Suruh saja supaya anakmu membawakannya ke rumah suaminya,” demikian kata I Teruna Tua.
Singkat
cerita, isteri I Teruna Tua lalu disuruh oleh ayahnya ke rumah suaminya
untuk menghantarkan paha babi guling. Setelah berada di sana, dengan
segala bujuk rayunya, akhirnya I Wayan bersedia berkumpul dan hidup
serumah lagi dengan I Teruna Tua. Begitulah, suami-isteri itu hidup
rukun kembali hingga akhir hayat.
Sumber:
Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan
Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan
Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman
Kebudayaan dan Pariwisata.
1 Juli mas atau joni mas adalah
semacam kursi berisi alat penyandang, yang pada zaman dahulu dipakai
mengusung raja. Dewasa ini joli semacam itu di Bali masih berfungsi
untuk mengusung orang-orang yang melakukan upacara potong gigi.
2
Ngrasakin adalah nama upacara yang ditujukan kepada dewa pertanian atau
makhluk halus penghuni halaman rumah. Salah satu syarat dalam upacara
ngrasakin ini adalah adanya babi guling untuk disuguhkan pada dewa.
3
Tepung tawar adalah himpunan dari beberapa bahan (daun intaran, beras,
kelapa diparut, kunir, nasi dan lain-lainnya) yang dipakai dalam upacara
pembukaan.
sumber : http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat
0 comments