Alkisah, ada dua orang
bersaudara yang bernama Nang Butuh Mosel dan pamannya yang bernama Uwa
Babrung. Nang Butuh Mosel adalah seorang yang sangat miskin. Bahkan,
karena terlalu miskin sampai-sampai ia tidak dapat memberi makan isteri
dan dua orang anak perempuannya. Jangankan memberi makan mereka, untuk
makan dirinya sendiri saja ia tidak mampu. Untuk hidup sehari-hari,
keluarga Nang Butuh Mosel hanya mengandalkan belas kashian dari para
tetangganya.
Sementara itu, di sebelah utara rumah Nang Butuh
Mosel tinggallah saudaranya yang bernama Uwa Babrung. Berbeda dengan
Nang Butuh Mosel, Uwa Babrung adalah seorang yang kaya raya. Ia
mempunyai banyak sawah, ladang dan hewan ternak. Namun, walau Uwa
Babrung kaya raya, ia sangat kikir dan tidak mempunyai rasa belas
kasihan terhadap orang lain. Bahkan terhadap saudaranya sendiri pun Uwa
Babrung tidak bersedia membantunya.
Suatu hari, karena isteri
Nang Butuh Mosel sudah merasa malu untuk selalu meminta belas kasihan
para tetangganya, Nang Butuh Mosel menyuruh anak tertuanya untuk meminta
beras kepada Uwa Babrung. Setelah sang anak pergi dan bertemu dengan
Uwa Babrung, ia pun berkata, “Paman, saya disuruh oleh bapak untuk
meminta sedikit beras.”
“Wah, orang tuamu itu masih sehat dan
kuat. Daripada meminta-minta lebih baik suruh orang tuamu pergi bekerja.
Aku tidak punya beras!” kata Uwa Babrung.
Tanpa menghiraukan kata-kata Uwa Babrung, si anak berkata lagi, “kalau tidak ada beras, berilah kami sedikit nasi, paman.”
“Nasi juga tidak ada!” jawab Uwa Babrung ketus.
Mendengar
kata-kata ketus yang keluar dari mulut pamannya, si anak langsung
pulang sambil menangis. Sesampai di rumah ia segera menceritakan kepada
orang tuanya.
“Sakit hatiku mendengar perkataan pamanmu itu. Biar aku mati tidak makan!” kata isteri Nang Butuh Mosel.
Karena
telah berputus asa, Nang Butuh Mosel segera meninggalkan rumah untuk
menghanyutkan diri di sungai. Namun, saat sampai di tepi sungai, ia
menjumpai banyak sayuran segar dan juga daun bulung bawang. Ia menjadi
heran, sebab selama ini ia tidak pernah melihat sayur-sayuran tersebut
tumbuh di sekitar sungai. Dan, tanpa banyak pikir lagi ia segera memetik
sayur-sayuran itu untuk dibawanya pulang. Begitulah, hari-hari
berikutnya Nang Butuh Mosel selalu mengambil sayuran yang ada di pinggir
sungai tersebut agar keluarganya dapat makan.
Suatu hari isteri
Nang Butuh Mosel mendengar bahwa Uwa Babrung akan pergi ke Buleleng
untuk menjual barang-barang hasil sawah dan ladangnya. Mak Butuh Mosel
pun segera mendatangi suaminya dan berkata, “Pak, lebih baik tumpangkan
saja dirimu dengan pamanmu di sebelah utara. Dia akan pergi ke Buleleng
untuk berjualan.”
“Ya, kalau demikian pergilah ke sana dan
katakan kepada saudaraku bahwa aku akan ikut dengannya ke Buleleng,”
jawab Nang Butuh Mosel.
Mak Butuh Mosel segera pergi ke rumah Uwa
Babrung. Setelah bertemu Uwa Babrung, Mak Butuh Mosel lalu menjelaskan
maksudnya, “Paman Babrung, kalau paman akan pergi ke Buleleng ajaklah
Nang Butuh Mosel. Apabila diperkenankan ikut, suruhlah dia untuk
memegang kuda, membawa beras atau barang-barang lain yang akan paman
jual.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab Uwa Babrung singkat.
“Lalu, kapan Uwa akan berangkat?” tanya Mak Butuh Mosel dengan gembira.
“Sesudah nasi masak,” jawab Uwa Babrung.
Mendengar
jawaban itu, Mak Butuh Mosel langsung mengucapkan terima kasih dan
sekaligus minta diri untuk memberitahu suaminya. Setelah sampai di
rumah, dengan perasaan gembira ia memberitahukan suaminya, “Pak, besok
Uwa Babrung akan pergi ke Buleleng sesudah nasi masak.”
“Apa yang harus aku persiapkan?” tanya Nang Butuh Mosel.
“Bawa saja sebuah besek. Mungkin nanti kamu akan disuruh untuk membawa barang-barang hasil sawah dan ladangnya.”
Keesokan
harinya, sebelum tengah hari Nang Butuh Mosel menyuruh salah seorang
anak perempuannya untuk menanyakan apakah Uwa Babrung telah siap untuk
pergi ke Buleleng. Namun, saat si anak telah berada di rumah Uwa
Babrung, ia mendapat penjelasan dari isteri Uwa Babrung bahwa suaminya
telah berangkat sejak tengah malam. Setelah mendapat penjelasan itu, si
anak buru-buru berpamitan untuk menyampaikan hal tersebut kepada
ayahnya. Jadi, telah terjadi suatu kesalahpahaman antara Uwa Babrung
dengan Mak Butuh Mosel. Maksud Uwa Babrung mengatakan sesudah nasi masak
adalah sesudah nasi masak pada sore hari untuk makan malam. Sementara
kata-kata sesudah nasi masak yang dipahami oleh Mak Butuh Mosel adalah
setelah nasi masak pada pagi hari untuk persiapan makan siang.
Saat
mendengar laporan anaknya, Mak Butuh Mosel segera ke rumah tetangga
terdekat untuk meminjam uang sebesar sepuluh kepeng. Uang itu kemudian
diberikan kepada suaminya sebagai bekal untuk menyusul Uwa Babrung ke
Buleleng. Selain itu, uang tadi dimaksudkan sebagai bekal bagi Nang
Butuh Mosel untuk mencari pekerjaan di sana.
Setelah semua
perbekalan siap, Nang Butuh Mosel segera berangkat menyusul Uwa Babrung.
Beberapa saat setelah meninggalkan rumah, tiba-tiba turun hujan yang
cukup lebat. Ia kemudian berlari menuju sebuah gubuk yang telah kosong.
Gubuk tersebut pada pagi harinya digunakan oleh pemiliknya sebagai
tempat untuk berjualan buah kelapa. Sambil berteduh, Nang Butuh Mosel
mengambil dan memakan beberapa potongan kecil buah kelapa yang masih
tersisa di gubuk itu.
Setelah hujan reda, Nang Butuh Mosel
kembali melanjutkan perjalanan. Ketika ia sampai di sebuah desa, ia
melihat ada beberapa orang anak yang sedang menyeret seekor ular yang
masih hidup dengan menggunakan tali. Ia lalu mendekati anak-anak itu dan
bertanya, “Mengapa kalian mengikat leher ular itu? Apakah hendak kalian
bunuh?”
“Ya. Ular ini telah memakan beberapa ekor anak ayam kami.” Jawab salah seorang anak.
“Kalau begitu, bolehkah aku membelinya?” tanya Nang Butuh Mosel.
“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang mau, ambilah ular sialan ini!” demikian gerutu anak-anak itu.
“Tidak, aku akan membelinya dua kepeng,” jawab Nang Butuh Mosel.
“Ya, baiklah kalau begitu,” jawab mereka gembira.
Ular
tersebut lalu diambil dan dimasukkan ke dalam besek. Setelah itu, Nang
Butuh Mosel kembali meneruskan perjalanan. Namun belum sampai satu jam
berjalan, ia melihat ada orang yang sedang memukuli seekor kucing.
Karena merasa kasihan, ia kemudian menghampiri orang tersebut dan
bermaksud membeli kucing yang sedang disiksa itu.
“Kalau engkau menghendaki, belilah kucing jahat ini seharga tiga kepeng!” demikian kata pemilik kucing itu.
“Ya, baiklah,” kata Nang Butuh Mosel sambil mengambil dan memasukkan kucing itu ke dalam beseknya.
Saat
ia berjalan lagi dan sampai di perempatan jalan, dilihatnya seseorang
yang sedang mengejar tikus. Begitu sang tikus tertangkap dan akan
dibunuh, ia berlari mendekati orang tersebut dan bermaksud membeli tikus
itu.
“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang
mau membeli dengan harga dua kepeng, ambilah tikus sialan ini!” demikian
kata orang itu.
“Ya, baiklah,” kata Nang Butuh Mosel sambil mengambil dan memasukkan tikus itu ke dalam beseknya.
Oleh
karena beseknya telah menjadi berat dengan isi tikus, kucing dan ular,
Nang Butuh Mosel lalu mencari sebuah tempat untuk melepas lelah. Ia
kemudian menghampiri sebuah pohon besar yang sangat rindang. Di tempat
itu ia berteduh dari panasnya sinar matahari sambil melepaskan lelah.
Saat
ia sedang duduk di bawah pohon itu, tiba-tiba datang seekor ular besar.
Ular itu berkata kepadanya, “Hai Bapak Mosel, Bapak telah menyelamatkan
anak saya. Sekarang saya akan menebusnya kembali. Berapa kepeng pun
yang Bapak minta akan saya beri.”
Nang Butuh Mosel yang sangat
terkejut melihat ada seekor ular besar telah berada di hadapannya,
segera berkata, “Saya tidak bermaksud untuk menjual ular ini. Jadi,
harga berapapun yang engkau tawarkan tidak akan saya berikan.”
“Janganlah
begitu Bapak. Ular itu adalah anak saya satu-satunya. Kasihanilah saya.
Saya akan tebus dengan apapun yang Bapak minta,” kata ular itu memelas.
Setelah
berpikir beberapa saat sambil melihat-lihat tubuh ular itu, akhirnya
Nang Butuh Mosel berkata, “Ya kalau memang sungguh demikian, saya minta
cincin yang ada di ujung ekormu itu. Bagaimana?”
“Sebenarnya
cincin ini adalah benda keramat yang dapat memberikan apa saja kepada
saya. Namun apabila Bapak menghendaki, saya rela menukarkannya dengan
anak saya,” jawab si ular.
Setelah melepaskan cincin dari ekornya
dan memberikannya kepada Nang Butuh Mosel, sang ular besar berkata
lagi, “Cincin ini dapat mendatangkan kekayaan buat Bapak. Caranya cukup
memasukkan benda apa saja melewati lubang cincin. Apabila telah melewati
lubang cincin, niscaya benda tersebut akan menjadi emas.”
Nang
Butuh Mosel yang merasa kasihan kepada ular besar itu, kemudian membuka
beseknya dan menyerahkan anak ular yang tadi dibelinya. Setelah terjadi
serah terima, maka si ular beserta anaknya segera masuk ke dalam hutan,
sementara Nang Butuh Mosel kembali melanjutkan perjalanannya menuju
Buleleng.
Dalam perjalanan ke Buleleng itu, ia melihat orang
menghunus pedang dan hendak membunuh seekor anjing. Nang Butuh Mosel
langsung menghampiri orang itu dan bertanya, “Hendak engkau apakan
anjing itu?”
“Anjing ini sering sekali melarikan pepesku. Sekarang ia akan aku bunuh!” jawab orang itu.
“Kalau begitu, bolehkah aku membelinya?” tanya Nang Butuh Mosel.
“Beli sajalah, seharga berapa saja!” kata orang itu.
“Uangku hanya tinggal tiga kepeng. Bolehkan aku membelinya seharga tiga kepeng?” tanya Nang Butuh Mosel.
“Ya, baiklah!” kata orang itu.
Beberapa
saat setelah Nang Butuh Mosel melanjutkan perjalanannya kembali,
akhirnya ia bertemu dengan Uwa Babrung yang telah kembali dari Buleleng.
Uwa Babrung yang tidak ingin dibilang sebagai orang yang ingkar janji
segera berkata, “Aku telah memberitahukan pada isterimu bahwa setelah
nasi masak pada sore hari aku akan berangkat. Kenapa engkau tidak datang
malam itu?”
“Mungkin telah terjadi kesalahpahaman, Uwa?” jawab Nang Butuh Mosel singkat.
“Wah, apa yang kau bawa itu? Kelihatannya berat sekali?” tanya Uwa Babrung mengalihkan pembicaraan.
Tanpa berkata apa-apa Nang Butuh Mosel segera membuka beseknya dan terlihatlah tiga ekor binatang yang tadi dibelinya.
“Akan
kau apakan binatang-binatang itu? Akan kau berikan pada anak dan
isterimu sebagai makan malam? Ya sudah, potong dan masaklah binatang
itu, aku mau pulang!” kata Uwa Babrung sambil tertawa dan berlalu
bersama kudanya.
Mendengar perkataan itu Nang Butuh Mosel hanya
tertawa kecut. Di dalam hatinya, ia sendiri juga bingung. Tujuannya ke
Buleleng adalah untuk mencari Uwa Babrung. Namun sekarang Uwa Babrung
telah kembali dari Buleleng. Sementara tujuannya yang lain yaitu untuk
mencari pekerjaan di Buleleng telah pupus, sebab uang yang diberikan
oleh isterinya kini telah habis untuk membeli ular, tikus, kucing dan
anjing. Dan, setelah berpikir agak lama, akhirnya Nang Butuh Mosel
memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan ke Buleleng dan kembali
pulang ke rumahnya.
Dalam perjalanan pulang itu terbersit
keinginannya untuk mencoba cincin pemberian si ular besar. Ia lalu
mengambil sebatang lidi dan memasukkannya ke lubang cincin. Dan,
alangkah terkejutnya Nang Butuh Mosel ketika lidi telah melewati lubang
cincin, tiba-tiba berubah menjadi emas yang berbentuk lidi. Lidi emas
itu kemudian ditukarkannya kepada seorang penjual labu bercampur laklak
dan ia memperoleh sebungkus besar buah-buahan tersebut.
Malam
harinya setelah sampai di rumah, binatang-binatang yang tadi dibelinya
langsung diberikan kepada kedua anak perempuannya untuk teman bermain.
Selanjutnya, ia mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan mulai
menceritakan segala kejadian yang dialaminya sejak ia berangkat dari
rumah hingga pulang kembali. Mendengar seluruh keterangan suaminya,
terutama tentang cincin yang dapat membuat semua benda menjadi emas,
isterinya sangat gembira. Keesokan harinya mereka bersama-sama pergi ke
pura untuk bersembahyang dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas
segala karunia-Nya.
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian
keluarga Nang Butuh Mosel sudah hidup bahagia. Kedua anak mereka sudah
menjadi gemuk dan mulai terlihat paras cantiknya. Selain itu, keluarga
ini juga mempunyai banyak sekali emas yang dihasilkan dengan cara
memasukkan suatu benda ke dalam cincin ajaib yang diperoleh dari sang
ular besar. Emas-emas itu kemudian dibawa ke seorang tukang pandai emas
untuk dijadikan cincin, gelang, kalung dan berbagai macam perhiasan
lainnya.
Suatu hari, tanpa sepengetahuan ayahnya cincin ajaib itu
dipakai bermain oleh kedua anaknya. Saat mereka bermain, cincin itu
terjatuh dan patah menjadi dua bagian. Mereka kemudian mengambilnya dan
sambil menangis menyerahkannya kepada ayahnya. Namun, karena Nang Butuh
Mosel adalah seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya, melihat
cincin ajaibnya patah ia tidak marah. Ia lantas mengambil cincin yang
diberikan oleh anaknya dan kemudian pergi ke tukang pandai emas.
Sesampai
di rumah si pandai emas, Nang Butuh Mosel lalu menyerahkan cincinnya
untuk diperbaiki. Namun karena waktu itu sedang sibuk, si pandai emas
menyuruh Nang Butuh Mosel meletakkan cincinnya di atas meja kerjanya. Si
pandai emas berjanji akan memperbaikinya nanti malam dan besok sore
Nang Butuh Mosel boleh mengambilnya kembali.
Malam harinya ketika
si pandai emas mulai menempa cincin Nang Butuh Mosel, tiba-tiba
landasan dan palu yang digunakan untuk menempa cincin itu berubah
menjadi emas. Hal ini membuat si pandai emas terkejut dan dengan akal
bulusnya ia segera membuat cincin baru yang bentuknya persis seperti
cincin Nang Butuh Mosel. Cincin baru itu yang keesokan harinya akan
diberikan kepada Nang Butuh Mosel. Sementara cincin yang asli
diperbaikinya dan disimpan untuk dirinya sendiri.
Keesokan
harinya ketika Nang Butuh Mosel telah datang untuk mengambil cincinnya,
si pandai emas langsung memberikan cincin palsu buatannya dan lantas
berpura-pura sibuk dengan pekerjaan lainnya. Nang Butuh Mosel yang tidak
ingin mengganggu pekerjaan si pandai emas, tanpa meneliti dahulu
cincinnya langsung membayar dan berlalu dari situ. Namun setelah sampai
di rumah, cincin itu tidak bekerja sebagaimana biasanya. Ia tidak dapat
menjadikan benda apapun menjadi emas. Dan, setelah diperhatikan tahulah
ia bahwa cincin itu ternyata palsu. Nang Butuh Mosel menjadi sedih,
sebab cincin itulah yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya.
Melihat
tuannya sedang bersedih hati, ketiga hewan yang dipeliharanya merasa
kasihan dan mendekatinya. Setelah emosi Nang Butuh Mosel agak
terkendali, mewakili ketiga temannya, si kucing bertanya, “Mengapa Bapak
bersedih? Apakah Bapak tidak sanggup lagi memberi makan kami?”
Mendengar
kuncing peliharaannya tiba-tiba dapat berbicara, Nang Butuh Mosel
menjadi kaget setengah mati. Beberapa saat kamudian, setelah dapat
mengatasi keterkejutannya itu, ia berkata, “Ah, bukan demikian. Kalian
jangan salah sangka, aku bersedih karena cincinku telah ditukar oleh si
pandai emas.”
Tiba-tiba menyahutlah si tikus, “Kalau demikian mari kita ambil kembali cincin itu dari tangan si pandai emas.”
“Tapi, bagaimana caranya? Kita sama-sama kecil,” kata si anjing.
Sang
tikus berkata, “Jangan takut pada orang yang lebih besar. Kalau memang
salah, pasti ia akan kalah. Dan, meskipun tubuhku paling kecil, aku
tidak takut. Apalagi sudah demikian besar jasa dan kasih sayang yang
kita peroleh dari Pak Nang Butuh Mosel.”
“Kalau begitu, marilah kita berangkat ke rumah si pandai emas,” kata si kucing sambil berjalan keluar rumah.
Singkat
cerita, tidak berapa lama kemudian mereka pun telah tiba di rumah si
pandai emas. Mereka lalu membagi tugas. Kucing dan tikus akan menyelinap
masuk melewati lubang yang ada di tembok rumah itu. Sedangkan, anjing
akan berdiri di depan pintu, berjaga-jaga kalau si pandai emas atau
isterinya tiba-tiba terbangun.
Setelah itu, si kucing dan tikus
pun masuk ke dalam rumah dan mulai mencari di mana cincin ajaib itu
disembunyikan. Saat berkeliling mencari, akhirnya mereka melihat sinar
cincin milik Nang Butuh Mosel berada di dalam sebuh peti. Si kucing
kemudian berbisik pada tikus, “Wah, bagaimana cara mengeluarkannya?”
“Mudah, akan kugigit bagian tepi peti itu!” kata tikus sambil berjalan ke arah peti.
Saat si tikus sedang menggerogoti peti, isteri si pandai emas terbangun dan berkata pada suaminya, “Wah, suara apa itu?”
Si
kucing yang melihat pemilik rumah terbangun, segera mengeong untuk
mengalihkan perhatiannya. Sementara si anjing yang mendengar suara
kucing segera menggonggong, agar terkesan seperti sedang mengejar
kucing.
“Sepertinya ada anjing yang sedang mengejar kucing,” kata si pandai emas lalu melanjutkan tidurnya kembali.
Setelah
berhasil melubangi peti, si tikus segera mengambil cincin ajaib itu dan
bersama si kucing dan si anjing berlalu dari rumah si pandai emas.
Namun, sewaktu mereka menyeberangi sungai untuk sampai di rumah Nang
Butuh Mosel, cincin yang dipegang oleh si tikus terjatuh. Untunglah pada
saat itu ada seekor katak yang bersedia menyelam dan mengambilnya,
sehingga ketiga binatang itu tidak pulang dengan tangan hampa.
Sesampainya
di rumah cincin itu langsung diberikan kepada majikannya. Nang Butuh
Mosel dan keluarganya yang telah lama menanti, segera mencoba cincin itu
untuk memastikan keasliannya. Dan, setelah dicoba dengan memasukkan
sebatang lidi, ternyata lidi seketika berubah menjadi emas. Keluarga
Nang Butuh Mosel menjadi sangat bahagia dan sejak saat itu mereka selalu
menjaga cincin ajaib pemberian ular besar dengan sebaik-baiknya.
0 comments