HARAMNYA MENCELA PENGUASA
Syari’at
yang lurus ini melarang seseorang dari mencela penguasa, sebab mencela
mereka akan menjurus kepada tidak mentaatinya dalam perkara yang
ma’ruf, dan akan membangkitkan emosi masyarakat terhadap mereka, yang
akan membuka jalan terjadinya kekacauan yang tidak akan kembali kepada
manusia melainkan kejahatan yang merebak, sebagaimana kebiasaan mencela
mereka akan berakhir dengan melakukan pemberontakan atas mereka, dan
memeranginya. Dan ini merupakan malapetaka yang dahsyat dan musibah
yang besar.
Mengotori
kehormatan para penguasa dan menyibukkan diri dengan mencelanya, serta
menyebut aib-aibnya merupakan kesalahan besar dan kejahatan yang buruk
yang dilarang oleh syari’at yang suci, dan mencela pelakunya, dan ini
merupakan bibit sikap memberontak terhadap penguasa yang merupakan inti
rusaknya agama dan dunia. Dan telah diketahui bahwa wasilah
(perantara) memiliki hukum yang sama dengan tujuan, maka setiap nash
yang mengharamkan keluar dari ketaatan dan celaan terhadap pelakunya
merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya mencela dan tercelanya
pelakunya.(53)
Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam “At-tamhid” dari Anas bin Malik Rahimahullah bahwa beliau berkata :
” كان الأكابر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهوننا عن سبِّ الأمراء”
“Adalah para pembesar dari shahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kami dari mencela para penguasa.”
MENASEHATI PENGUASA
Nasehat
bagi penguasa termasuk diantara perkara agama yang terpenting,
sebagaimana yang dikeluarkan Muslim dalam shohihnya dari Tamim Ad-Dari
bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
” الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ”
“Agama
itu nasehat”. Kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: ”Bagi
Allah, kitab- Nya.Rasul-Nya, dan bagi para pemimpin kaum muslimin dan
keumuman kaum muslimin.”
Dan dikeluarkan Tirmidzi dalam sunan-nya dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلَاثٌ
لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ
وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ
الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Tiga
hal yang hati seorang muslim tidak dengki padanya: ikhlas dalam beramal
karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan komitmen
dengan jama’ah mereka, karena sesungguhnya do’a itu terkabulkan bersama
mereka”(54)
Makna
hadits ini bahwa ketiga perkara ini: yaitu ikhlas dalam beramal karena
Allah, menasehati penguasa, dan komitmen dengan jama’ah, maka
barangsiapa yang melakukannya, maka dalam hatinya tidak terdapat sifat
iri dan dengki.
Berkata
Abu Nu’aim Al-Asbahani: “Barangsiapa yang menasehati para pemimpin dan
penguasa maka dia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang menipu
mereka, maka dia menyimpang dan melampaui batas.”(55)
BEBERAPA BENTUK MENASEHATI PENGUASA
Dalam menasehati penguasa ada empat cara:
Pertama: menasehati penguasa secara rahasia antara dia dan penguasa.
Kedua:
menasehati penguasa didepan manusia secara terang-terangan di
hadapannya,dalam keadaan memungkinkan menasehatinya secara tersembunyi.
Ketiga: menasehati penguasa secara tersembunyi, lalu keluar dari sisi penguasa dan menyebarkannya dikalangan manusia.
Keempat:mengingkari
penguasa disaat dia tidak ada melalui majelis-majelis, nasehat,
khutbah, pelajaran, dan semisalnya. Maka keempat cara ini, akan kami
sebutkan secara terperinci masing- masing dari bentuk tersebut:
Bentuk pertama: menasehati penguasa secara tersembunyi
Menasehati
penguasa secara tersembunyi termasuk prinsip dalam manhaj salafy yang
diselisihi oleh ahlul ahwa’ dan bid’ah seperti khawarij:
Sebab
asal hukum menasehati penguasa adalah secara rahasia dan tidak
terang-terangan. Hal ini berdasarkan apa yang dikeluarkan oleh Ahmad
dalam musnadnya dari ‘Iyyadh berkata : bersabda Rasulullah صلى الله
عليه وسلم :
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ
عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa
yang hendak menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka jangan dia
menampakkannya secara terang-terangan, namun dia mengambil tangannya
dan bersepi dengannya, jika dia menerima maka itulah yang diinginkan,
namun jika tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya.”(56)
Perkataannya:
“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa tentang satu perkara”,
terdapat keumuman lafadz baik bagi yang menasehati maupun perkara
nasehatnya.
Perkataannya:
“jangan dia menampakkan secara terang-terangan”, padanya terdapat
larangan menasehati secara terang-terangan, dan larangan menunjukkan
haramnya, dan wajib merahasiakannya.
Perkataannya:
”namun hendaklah dia mengambil tangannya dan bersepi dengannya,
padanya terdapat penjelasan cara syar’i dalam menasehati penguasa,
yaitu secara rahasia, tidak dengan terang-terangan .”Bersepi dengannya”
yaitu sendirian. Seperti ucapan Usamah : ”Apakah kalian menganggap
bahwa aku tidak berbicara dengannya melainkan aku perdengarkan kepada
kalian, demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya antara aku
dan dia.”
Hal
ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua shohihnya dari
Syaqiq dari Usamah bin Zaid berkata: dikatakan kepadanya: “Mengapa
engkau tidak masuk bertemu Utsman dan mengajaknya berdialog”. Beliau
menjawab: “Apakah kalian menganggap bahwa jika aku berbicara dengannya ,
saya harus memperdengarkan kepada kalian, demi Allah, aku telah
berbicara dengannya, antara aku dan dia tanpa membuka suatu perkara
yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.”
Maka
dalam atsar ini menunjukkan bahwa nasehat secara terang-terangan
merupakan perkara mungkar yang dapat menimbulkan fitnah, dan bahwa
dengan cara rahasia merupakan prinsip dalam menyempurnakan penyampaian
nasehat tanpa fitnah dan tanpa menimbulkan gejolak dikalangan rakyat
terhadap pemimpinnya, dari ucapannya:
“Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya antara aku dan dia” dan ucapannya
“tanpa aku membuka perkara yang aku tidak senang menjadi orang pertama yang membukanya.”
Berkata
Imam Nawawi: “Maksudnya adalah melakukan pengingkaran secara
terang-terangan terhadap para penguasa di kalayak ramai, seperti yang
dilakukan oleh para pembunuh Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Dan pada ucapan
diatas terdapat adab bersama para penguasa dan bersikap lembut
terhadap mereka, dan menasehati mereka secara rahasia dan menyampaikan
kepadanya apa yang diucapkan oleh manusia tentang mereka agar mereka
berhenti darinya, dan ini semua jika hal tersebut memungkinkan. Namun
jika tidak mungkin menasehatinya dan mengingkarinya secara rahasia, maka
dia boleh melakukannya secara terang-terangan agar tidak hilang
prinsip al-haq.”(57)
Perkataannya:
”Ini semua jika hal tersebut memungkinkan” yaitu memungkinkan bagi
yang menasehatinya penguasa secara rahasia, maka itu yang wajib
baginya, tidak yang lainnya.
Perkataannya:
”Jika tidak memungkinkan menasehatinya dan mengingkarinya secara
rahasia, maka dia boleh melakukannya secara terang-terangan agar tidak
hilang prinsip al-haq”, yaitu bahwa dia tidak mengingkari secara
terang-terangan kecuali dalam keadaan sangat terpaksa,(58) oleh karena
itu ‘Iyyadh (bin Ghunm) mengingkari Hisyam tatkala dia mengingkarinya
secara terang-terangan tanpa keadaan darurat. Maka tidak ada tindakan
dari Hisyam melainkan menerimanya, Wallahu a’lam.
Berkata Syekh Bin Baaz ketika mengomentari atsar Usamah :
“Tatkala
mereka membuka kejahatan di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan
mengingkari Utsman Radhiyallahu ‘anhu secara terang-terangan, maka
semakin sempurnalah fitnah, peperangan, dan kerusakan yang pengaruhnya
masih terasa hingga hari ini, sampai terjadi fitnah antara Ali dan
Mu’awiyah, dan antara pembunuh Utsman dan Ali dengan sebab itu. Dan
terbunuh sekian banyak dari para shahabat dan selainnya dengan sebab
melakukan pengingkaran secara terang-terangan dan menyebut ‘aib secara
transparan, sehingga menyebabkan masyarakat membenci penguasa mereka,
sampai merekapun membunuhnya. Kami memohon kepada Allah
keselamatan.”(59)
Dan
dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Sa’id bin Jumhan bahwa dia
berkata: “Aku bertemu dengan Abdullah bin Abi Aufa lalu aku berkata:
sesungguhnya penguasa itu mendzalimi manusia dan bertindak kasar
terhadap mereka.” Maka dia mengambil tanganku dan menusuknya dengan
tusukan yang keras lalu berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan,
hendaklah engkau berpegang kepada sawadul a’dzam(60), hendaklah engkau
berpegang kepada sawadul a’dzam. Jika penguasa itu mau mendengar darimu
maka datangilah rumahnya lalu kabarkan apa yang engkau ketahui, jika
dia menerima itu darimu, namun jika tidak maka biarkan dia, sebab kamu
tidaklah lebih mengetahui tentang hal itu darinya.”
Perhatikanlah
Shahabat yang mulia Ibnu Abi Aufa mencegahnya dari membicarakan
penguasa, dan memerintahkannya untuk menasehatinya secara rahasia dan
bukan terang-terangan.
Berkata
Ibnu Nuhas rahimahullah: “Hendaknya dia memilih pembicaraan bersama
penguasa ditempat sepi daripada berdialog dengannya dihadapan
umum”.(61)
Dan
berkata Asy Syaukani: ”Sepantasnya bagi yang mengetahui kesalahan
pemimpin dalam sebagian permasalahan agar menasehatinya, dan jangan
menampakkan celaan terhadapnya di hadapan khalayak ramai, namun
sebagaimana yang terdapat dalam hadits bahwa dia mengambil dengan
tangannya lalu berduaan dengannya, dan menyampaikan nasehat dan jangan
menghinakan penguasa milik Allah (di muka bumi).(62)
Berkata
para Imam Dakwah: “Apa yang terjadi pada penguasa dari kemaksiatan,
dan penyimpangan yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari
Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan
lembut, dan mengikuti metode salafus soleh dengan tidak mencelanya
dimajelis-majelis dan kumpulan manusia.”(63)
Dan
berkata Allamah As-Sa’di rahimahullah: “Bagi siapa yang melihat dari
mereka (para penguasa,pen) sesuatu yang tidak halal, agar memberikan
peringatan kepadanya dengan cara rahasia, tidak dengan terang-terangan,
dengan lembut dan dengan ungkapan yang sesuai keadaan.”(64)
Berkata
Syaikh Bin Baaz rahimahullah: “Cara yang diikuti dikalangan salaf
adalah menasehati antara mereka dengan penguasa (secara rahasia),
menulis surat kepadanya, menghubungi para ulama yang punya hubungan
dengannya agar membimbingnya kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran
bisa dilakukan tanpa penyebut pelakunya, maka dia mengingkari zina,
minum khamr, riba, tanpa menyebut orang yang melakukannya. Dan cukup
mengingkari kemaksiatan dan memberi peringatan darinya dengan tanpa
menyebut bahwa si fulan melakukannya , (tanpa menyebut) apakah dia hakim
atau bukan.”(65)
Bentuk
kedua: Menasehati penguasa di depan manusia secara terang-terangan,
dalam keadaan memungkikan menasehatinya secara rahasia.
Bentuk seperti ini diharamkan, berdasarkan beberapa ha berikut ini:
1. Menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm yang memerintahkan secara rahasia.
2. Menyelisihi atsar salafus shaleh dan manhajnya seperti Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa, dan yang lainnya.
3.
Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam: ”Barangsiapa yang
menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan
menghinakannya.” Riwayat Tirmidzi.
Berkata
Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Utsaimin rahimahullah: “Jika
membicarakan seorang raja tanpa kehadirannya, atau menasehatinya secara
terang-terangan dan memasyhurkannya termasuk menghinakannya yang Allah
telah mengancam pelakunya dengan kehinaan, maka tidak diragukan lagi
bahwa wajib menjaga apa yang telah kami sebutkan -yaitu menasehati
secara rahasia- bagi siapa yang sanggup menasehati mereka dari para
ulama yang dekat dengan mereka.”(66)
Dan
berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah: : “Jika terjadi
kemungkaran dari seorang pemimpin atau yang lainnya, maka hendaklah
dinasehati dengan lembut dan rahasia , dan tidak diketahui oleh
seorangpun, jika dia menerima maka itulah yang dikehendaki, namun jika
tidak maka dia mencari bantuan orang lain yang bisa menerima
(nasehatnya) secara rahasia, namun jika dia tidak melakukan dan
memungkinkan mengingkarinya secara terang-terangan kecuali bila terhadap
seorang pemimpin, dia telah menasehatinya dan tidak diterima dan
mencari bantuan yang lain pun tidak diterima, maka hendaklah dia
mengangkat masalah itu kepada kami secara tersembunyi.”(67)
Bentuk ketiga: menasehati penguasadengan cara rahasia, lalu dia menyebarkannya.
Cara seperti ini diharamkan berdasarkan hal-hal berikut:
1.
menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm, sebab maksud dan tujuannya adalah
agar manusia tidak mengetahuinya yang dapat menimbulkan kerusakan.
2. menyelisihi petunjuk salaf dalam menyikapi penguasa.
3. dapat menimbulkan riya’ dan tanda menunjukkan ketidak ikhlasan dalam melakukannya.
4. dapat menimbulkan fitnah, kekacauan, dan perpecahan dari jama’ah.
5. menghinakan penguasa, dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
“Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.”
Berkata Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Utsaimin rahimahullah:
“Jika
membicarakan seorang raja tanpa kehadirannya, atau menasehatinya secara
terang- terangan dan memasyhurkannya termasuk menghinakannya yang
Allah telah mengancam pelakunya dengan kehinaan, maka tidak diragukan
lagi bahwa wajib menjaga apa yang telah kami sebutkan -yaitu menasehati
secara rahasia-“
Berkata Syaikh As-Sa’di rahimahullah:
“Berhati-hatilah
wahai pemberi nasehat kepada mereka cara yang terpuji ini –yaitu
dengan lembut dan halus- untuk kamu tidak merusak nasehatmu dengan
mengharapkan pujian dimata manusia, lalu kamu mengatakan kepadanya:
sesungguhnya aku telah menasehati mereka dan aku mengatakan begini dan
begitu, karena sesungguhnya ini merupakan tanda riya’ dan alamat
kelemahan ikhlas, dan dapat menyebabkan kemudaratan lainnya sebagaimana
yang telah diketahui.”(68)
Bentuk keempat: menasehati penguasa tanpa kehadirannya diberbagai majelis dan nasehat serta khutbah, dan semisalnya
Maka cara seperti inipun diharamkan berdasarkan beberapa hal berikut ini:
1. Karena ini termasuk ghibah dan kebohongan terhadap penguasa.Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(QS.Alhujurat:12)
Maka Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
أَتَدْرُونَ
مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ؟قَالَ ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا
أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ”
“Tahukah
kalian apa itu ghibah? Mereka menjawab: Allah dan Rasulnya lebih
mengetahui”. Beliau bersabda: “Yaitu menyebut saudaramu dengan sesuatu
yang dibencinya”. Lalu ada yang bertanya: “Bagaimana jika pada
saudaraku itu benar-benar seperti yang aku katakan?” Beliau menjawab: ”
Jika benar apa yang kamu katakan maka sungguh engkau telah
mengghibahinya, dan jika tidak benar perkataanmu maka sungguh engkau
telah menuduhnya (dengan dengan bohong).”
Maka
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya melarang dari ghibah, dan
tidaklah diragukan bahwa membicarakan penguasa termasuk diantara ghibah
tanpa kehadirannya, walaupun yang dibicarakan adalah benar, dan kalau
dusta maka termasuk buhtan (kebohongan).
2.
Dan bentuk seperti ini juga termasuk ke dalam adu domba diantara
manusia yang dapat menimbulkan fitnah dan kekacauan, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abdullah bin Mas’ud
berkata: sesungguhnya Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ ؟ هِيَ النَّمِيمَةُ : الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ “
“Maukah aku kabarkan kepada kalian apa itu adhah? Yaitu namimah, menyebarkan adu domba diantara manusia.”
3. Dan karena hal itu menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm tentang wajibnya menasehati secara rahasia.
4. Dan juga menyelisihi petunjuk salaf soleh tentang cara menasehati penguasa.
5. Dan juga termasuk merendahkan penguasa dan ini diharamkan.
6. Dan
juga dapat menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan pembunuhan,
sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam “at-thobaqot” dari
Abdullah bin Ukaim Al-Juhani bahwa dia berkata: “Aku tidak akan
membantu untuk menumpahkan darah seorang khalifah setelah Utsman
selama-lamanya!!” Lalu ada yang bertanya kepadanya: ”Wahai Abu Ma’bad,
apakah engkau turut membantu atas tertumpahnya darah beliau?” Ia
menjawab: “Sesungguhnya aku menganggap bahwa menyebut
kesalahan-kesalahannya termasuk membantu tertumpahnya darah!”
Perhatikanlah
atsar ini, dimana beliau menganggap bahwa menyebut kesalahan-kesalahan
penguasa termasuk diantara faktor pendukung atas tertumpahnya
darah.(69)
Berkata
para Imam Dakwah: apa yang dilakukan oleh sebagian penguasa berupa
kemaksiatan dan penyimpangan yang tidak menyebabkan kekafiran dan
keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i
dengan lembut, dan mengikuti cara yang telah diamalkan salafus shaleh
dengan tidak menjelekkan mereka di berbagai majelis dan perkumpulan
manusia, lalu meyakini bahwa hal tersebut termasuk diantara mengingkari
kemungkaran yang wajib diingkari atas setiap hamba. Ini adalah
kesalahan yang besar dan kejahilan yang nampak, pelakunya tidak
mengetahui akibatnya yang akan terjadi berupa kerusakan yang besar dalam
agama dan dunia, sebagaimana telah diketahui hal tersebut oleh orang
yang Allah terangi hatinya dan mengetahui metode salafus shaleh dan
para pemimpin agama.”(70)
Berkata
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Sebagian orang ada yang
kebiasaannya disetiap majelis yang dibentuknya, selalu membicarakan
para penguasa dan menodai kehormatan mereka, menyebarkan kekeliruan dan
kesalahan mereka, lalu mengenyampingkan apa yang mereka miliki dari
kebaikan atau kebenaran, dan tidaklah diragukan bahwa menempuh cara
seperti ini dan menodai kehormatan para penguasa, tidak akan menambah
permasalahan kecuali semakin parah, sebab itu tidak akan menyelesaikan
problem dan tidak akan mengangkat kedzaliman, namun hanya semakin
menambah musibah diatas musibah, dan mengakibatkan kebencian terhadap
para penguasa dan tidak melaksanakan perintah-perintahnya yang wajib
ditaati.”(71)
Berkata
Syaikh Bin Baaz rahimahullah: “Bukan termasuk manhaj salaf
memasyhurkan aibnya para penguasa dan menyebutkannya di atas
mimbar-mimbar, sebab hal tersebut dapat menjurus kepada gejolak dan
tidak mendengar dan taat dalam perkara ma’ruf, dan menjurus kepada
pemberontakan yang memudharatkan dan tidak mendatangkan manfaat.”(72)
Berkata
Syaikh Ibnu Utsaimin: ”Aku memintamu atas nama Allah untuk memahami
manhaj salaf shaleh dalam menyikapi penguasa, dan jangan dia menjadikan
kesalahan-kesalahan penguasa sebagai sarana untuk membangkitkan amarah
umat, dan menimbulkan kebencian terhadap para penguasa. Dan ini inti
kerusakan dan salah satu pondasi yang menimbulkan fitnah di kalangan
manusia, sebagaimana pula memenuhi hati dengan penuh kebencian terhadap
penguasa dapat menimbulkan kejahatan, fitnah, kekacauan. Demikian pula
memenuhi hati dengan penuh kebencian terhadap para ulama akan
menyebabkan diremehkannya kedudukan mereka, yang kemudian berakibat
diremehkannya syariat yang mereka emban, maka jika seseorang berupaya
untuk mengecilkan sikap segannya terhadap para ulama dan penguasa, maka
syariat dan keamanan akan menjadi lenyap , sebab ketika ulama tersebut
berbicara, maka mereka tidak lagi percaya dengan ucapannya, dan jika
para penguasa angkat bicara, maka merekapun membangkang dari ucapan
mereka, sehingga terjadilah kejahatan dan kerusakan.
Maka
wajib kita perhatikan, apa yang telah ditempuh oleh salafus shaleh
dalam menghadapi penguasa, dan hendaklan seseorang mengatur dirinya dan
mengetahui akibatnya.
Dan
ketahuilah bahwa orang yang membangkitkan gejolak, hanyalah membantu
musuh-musuh Islam. Maka menimbulkan gejolak dan sikap membantah
bukanlah menjadi ukuran, namun yang menjadi ukuran adalah sikap hikmah.
Dan
bukanlah saya memaksudkan dengan sikap hikmah adalah diam dari
kesalahan, akan tetapi dalam hal mengobati kesalahan tersebut untuk
kita semakin memperbaiki kondisi, bukan untuk merubah kondisi (menjadi
semakin runyam,pen). Maka seorang penasehat adalah orang yang
memperbaiki kondisi dan bukan merubah kondisi.”(73)
SYUBHAT ORANG YANG MEMBOLEHKAN MENGERITIK PENGUASA TANPA KEHADIRANNYA BESERTA BANTAHANNYA
Sebagian
orang ada yang mengeritik penguasa tanpa kehadirannya, jika engkau
katakan kepadanya bahwa ini tidak boleh, maka dia berdalil dengan apa
yang dikeluarkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari Abu Sa’id Al-Khudri
bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sesungguhnya diantara jihad yang paling agung adalah mengucapkan kebenaran disisi penguasa yang dzalim”.(74)
Lalu dia berkata: ini adalah kalimat kebenaran.
Tidaklah diragukan bahwa hal ini merupakan kesalahan fatal, berdasarkan beberapa hal berikut:
Pertama: hadits ini menyebutkan: “di sisi” yaitu dihadapan penguasa dan dengan kehadirannya , dan bukan dibelakangnya.
Kedua:
bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah engkau
mengingkarinya secara terang-terangan atau tanpa kehadirannya, bahkan
hadits ini wajib difahami sejalan dengan hadits ‘Iyyadh bin Ghunm yang
mewajibkan secara rahasia, maka kita menyatakan: kamu menasehatinya
sendirian, bukan dengan terang-terangan atau tanpa kehadirannya.
Ketiga:
sabdanya mengatakan “di sisi penguasa yang dzalim” , dan kita
Walhamdulillah –di kerajaaan arab saudi- dibawah naungan penguasa yang
adil yang beramal dengan Al-qur’an dan Sunnah diatas pemahaman salafus
shaleh, menyeru kepada tauhid dan memerangi bid’ah dan khurofat.
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin: ”Aku bersaksi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
terhadap
apa yang aku katakan,dan aku mempersaksikannya kepada kalian pula
bahwa aku tidak mengetahui dimuka bumi pada hari ini ada yang
menerapkan syariat Allah seperti apa yang diterapkan di negeri ini,
yang aku maksudkan adalah kerajaan arab saudi. Dan tidaklah diragukan
bahwa ini termasuk diantara kenikmatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada
kita. Maka hendaklah kita senantiasa menjaga atas apa yang telah kita
rasakan pada hari ini, bahkan kita selalu berusaha menambah pengamalan
syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih dari apa yang telah kita
rasakan pada hari ini. Sebab aku tidaklah menganggap telah sempurna dan
telah berada di puncak kesempurnaan dalam hal penerapan syariat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, tidak diragukan bahwa kami banyak melalaikan
darinya, namun kami lebih baik Walhamdulillah dari apa yang kami
ketahui dari negeri-negeri lainnya…….
Sesungguhnya
kita berada di negeri ini hidup dalam kenikmatan setelah kefakiran,
keamanan setelah rasa takut, keilmuan setelah kejahilan, kemuliaan
setelah kehinaan, dengan keutamaan berpegang teguh terhadap agama ini,
yang menyebabkan sakitnya hati orang-orang yang dengki dan mengganggu
peristirahatan mereka, mereka berangan-angan hilangnya kenikmatan yang
kita rasakan sekarang, dan sangat disayangkan sekali mereka menemukan
diantara kita ada yang menggunakannya, ada yang memanfaatkannya untuk
menghancurkan bangunan yang kokoh ini dengan cara menyebarkan kebatilan
mereka, dan menganggap baik kejahatan yang mereka sebarkan dikalangan
manusia,
“mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri” (QS.Al-Hasyr:2)
Sungguh
aku heran tatkala disebutkan kepadaku bahwa ada salah seorang yang
jahil –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan mengembalikannya
kepada kebenaran- menyebarkan berbagai selebaran yang berasal dari luar
negeri yang tidak terlepas dari tipu muslihat dan dusta, lalu meminta
agar disebarkan kepada sebagian para pemuda, lalu memberi semangat
kepada mereka agar mengharapkan pahalanya dari Allah. Subhanallah,
apakah pemahaman mereka sudah terbalik? Apakah mungkin keridhoan Allah
dapat ditempuh melalui kemaksiatan kepada- Nya? Apakah mendekatkan diri
kepada Allah dapat dilakukan dengan cara menyebarkan fitnah dan
menanamkan perpecahan di kalangan kaum muslimin terhadap penguasa
mereka? Aku berlindung diri kepada Allah untuk menjadi seperti
mereka.(75)
Sebagai
penutup: saya akan menyebutkan kalimat yang sangat penting dari Syaikh
Shaleh Alus syaikh seputar kesalahan yang dilakukan kebanyakan dari
para pemuda tatkala terjadi sebuah problem yang disebabkan kejahilannya
terhadap manhaj salafus shaleh:
“Wahai
muslim, jangan engkau menerapkan hadits-hadits tentang fitnah kepada
kondisi yang sedang engkau hadapi, sebab sebagian orang merasa nyaman
disaat muncul fitnah untuk meneliti kembali hadits-hadits Nabi صلى الله
عليه وسلم dalam hal fitnah dan sering membicarakannya diberbagai
majelis: bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم demikian, inilah waktunya,
inilah fitnah! Dan yang semisalnya.
Ulama
salaf mengajari kita bahwa hadits-hadits tentang fitnah tidak boleh
diterapkan pada kondisi saat ini, namun akan nampak kebenaran ucapan
Nabi صلى الله عليه وسلم terhadap apa yang beliau kabarkan dari
terjadinya fitnah setelah ia terjadi dan berlalu, yang disertai sikap
waspada dari fitnah secara keseluruhan. Penerapan terhadap
hadits-hadits fitnah ini kepada kondisi yang sedang terjadi dan
menyebarkannya dikalangan kaum muslimin bukanlah dari manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah, namun ahlus sunnah wal jama’ah menyebutkan fitnah
dan hadits-hadits fitnah untuk memberi peringatan darinya dan
menjauhkan kaum muslimin dari keterlenaan atau dari mendekatinya, agar
kaum muslimin tersebut tidak tertimpa fitnah, dan agar agar mereka
meyakini kebenaran apa yang telah dikabarkan oleh Nabi صلى الله عليه
وسلم .(76)
Inilah
akhir dari apa yang ingin saya sebutkan dalam risalah yang singkat
ini, dan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala aku memohon agar
memberi manfaat kepada kaum muslimin. Dan segala puji bagi Allah yang
Maha Awal (yang tidak ada sebelumnya sesuatu) dan Maha Akhir (yang
tidak ada setelahnya sesuatu) dan yang maha Zhahir (tidak ada diatasnya
sesuatu) dan maha batin ( yang tidak tersembunyi dari sesuatu apapun),
shalawat dan salam kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم , keluarganya,
para shahabatnya Radhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in
———————————–
53 Al-mu’amalah: 87
54 Dishohihkan Al-Albani dalam ash-shohihah:1/404. (penterjemah)
55 Fadhilatul ‘adilin:140
56 Dishohihkan Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab As-sunnah,karangan Ibnu Abi Ashim,no:1096,dan 1097
57 Syarah muslim:18/160
58 Dan
terhadap hal ini difahami perbuatan salaf ,seperti kisah Abu Sa’id
al-Khudri bersama Marwan gubernur Madinah,tatkala dia menudahulukan
khutbah dari sholat ‘ied.lihat shohih Bukhari (2/449,no:956,kitab
al-iedain,bab: al-khuruj ilal musholla bighoiri mimbar,bersama al-
fath).
59 Al-ma’lum:23,dan kitab: al’mu’amalah:44.
60 Maksudnya adalah taat kepada penguasa yang mayoritas masyarakatnya berlindung di bawah kekuasaannya.
61 Tanbih al-ghafilin: 64
62 As-sailul jarror: 4/556
63 Nasihah muhimmah: 30
64 Ar-riyadh an-nadhiroh:50
65 Al-ma’lum:22
66 Maqoshid al-Islam: 393.
67 Nasihah muhimmah:33
68 Ar-riyadh an-nadhiroh :50
69 Ini
memberi faedah bahwa pemberontakan bisa dilakukan dengan pedang juga
dengan lisan,berbeda dengan apa yang dikatakan oleh seseorang : bahwa
memberontak tidak dilakukan kecuali dengan pedang. Perhatikanlah hal
ini,dan cermatlah dengan baik!
70 Nasihah muhimmah: 30
71 Wujub taatis sulthan,karya Al-Uraini: 23-24
72 Al-ma’lum:22,al-mu’amalah:43
73 Al-mu’amalah: 32
74 Dishohihkan Al-Albani dalam as-shohihah: 1/491. (penterjemah)
75 Wujub tho’at as-sulthan,karya al-Uraini:49.
76 Ad-dhawabit asy-syar’iyyah li mauqif al-muslim fil fitan:52.
(Selesai)
0 comments