Ini
adalah sebuah risalah yang ditulis oleh Asy Syaikh Abu Umar Ahmad bin
Umar Bazemul dan diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askary bin
Jamal Al Bugisi yang menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada
penguasa selama bukan dalam hal kemaksiatan, serta menjelaskan
kewajiban menghormati, memuliakan dan menasehatinya, dan penjelasan
tentang diharamkannya melepaskan baiat ketaatan dan haramnya
memberontak terhadap mereka.
Ditulis : Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askary)
بسم الله الرحمن الرحيم
إن
الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من
سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له و من يضلل فلا هادي له و أشهد أن
لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمداً عبده و رسوله
{ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا
تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} (آل عمران:102) .
{ يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً}. (النساء:1) .
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً .
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً}
(الأحزاب:70-71) .
فإن
أصدق الكلام كلام الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم و شر
الأمور محدثاتها و كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار .
أما بعد :
Ini
adalah risalah yang ringkas, yang aku sebutkan padanya nash-nash dari
Sunnah Nabawiyyah yang mutawatir dalam menjelaskan kewajiban mendengar
dan taat kepada penguasa selama bukan dalam hal kemaksiatan, serta
menjelaskan kewajiban menghormati, memuliakan dan menasehatinya, dan
penjelasan tentang diharamkannya melepaskan baiat ketaatan dan haramnya
memberontak terhadap mereka.
Sejumlah
hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم ini memberikan faedah peringatan
dari sekte khawarij, yang pada hadits-hadits tersebut terdapat
kecukupan bagi orang yang Allah pelihara dari terjerumus ke dalam sekte
khawarij tersebut dan bagi orang yang tidak sependapat dengan mereka
dan bersabar dalam menyikapi kedzaliman para penguasa dan pemimpin
Negara, dan tidak melakukan perlawanan dengan pedang-nya terhadap
mereka, serta memohon kepada Allah Ta’ala agar menghilangkan kedzaliman
yang menimpa dirinya dan kaum muslimin dan mendoakan penguasa agar
diberi kebaikan.
Jika
penguasa memerintahkannya untuk taat dan memungkinkan baginya untuk
mentaatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan apabila dia tidak mampu
maka hendaklah dia meminta udzur kepada mereka. Dan jika mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan maka jangan ia mentaatinya, maka
barangsiapa yang memiliki sifat ini maka dia berada diatas jalan yang
lurus insya Allah( ).
Dan
aku beri nama risalah ini “Kedudukan sunnah dalam menyikapi penguasa
negeri”, hanya kepada Allah aku memohon agar menjadikan amalanku
senantiasa bersih dari riya’ dan sum’ah, dan menjadikannya sebagai
simpanan amalku pada hari yang tidak bermanfa’at harta dan anak
keturunan, kecuali yang menghadap kepada-Nya dengan membawa hati yang
suci.
Ditulis oleh: Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul
Pengajar di Ma’had Harom, Makkah Syarifah.
KEUTAMAAN SEORANG PEMIMPIN YANG ADIL
Rasulullah
صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang adil adalah
seorang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan sesuatu pada
tempatnya tanpa berlebihan dan tidak pula meremehkan, maka dialah yang
termasuk diantara yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari kiamat
pada hari yang tiada naungan kecuali naungannya, dan bahwa dia termasuk
diantara ahli syurga, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari
dalam shohihnya dari hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
صلى الله عليه وسلم bersabda:
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ
إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ
قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا
قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا
حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ “.
”Ada
tujuh golongan yang Allah beri naungan pada hari kiamat di bawah
naungan-Nya dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: seorang
pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada
Allah, seorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu
berlinang air matanya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan
masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seorang lelaki
yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan dan berparas cantik lalu
ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah
lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang dikerjakan oleh tangan kanannya.”
Dan
dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Iyyadh bin
Himar al-mujasyi’i bahwa Rasululullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
:”
أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ
مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى
وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ “
“Penduduk
syurga ada tiga golongan: penguasa yang adil, bersedekah dan mendapat
taufik, dan seorang yang pengasih, berhati lembut kepada setiap kerabat
dan setiap muslim, seorang yang miskin dan memelihara kehormatannya
(merasa cukup dengan apa yang ada),dan memiliki tanggungan keluarga.”
Pemimpin
yang adil adalah yang bijaksana dalam kepemimpinannya, dan seorang
penguasa yang adil tidak tertolak do’anya sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari hadits Abu Hurairoh berkata:
bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
:”
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ
وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ
فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ
الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ “
“Tiga
golongan yang tidak ditolak do’anya: orang yang berpuasa hingga dia
berbuka, seorang pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang terdzalimi,
Allah mengangkatnya di atas awan dan membukakan baginya pintu-pintu
langit, dan Allah berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, aku pasti akan
menolongmu kapan saja.”(2)
Mencintai penguasa, memuliakan dan menghormatinya
Sesungguhnya
seorang pemimpin negara telah menguras kemampuannya, waktunya untuk
memelihara kemaslahatan rakyatnya, dan memberikan berbagai jalan-jalan
kemudahan bagi mereka, dan menolak adanya marabahaya dan kejelekan dari
mereka dengan izin Allah Azza wajalla. Oleh karenanya, dialah yang
memelihara kita, sebagaimana yang telah dikeluarkan Al Bukhari dalam
shohihnya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah صلى الله
عليه وسلم bersabda:
” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “
“Kalian
semua adalah pemelihara, dan kalian semua akan ditanya tentang
peliharaannya, seorang pemimpin akan ditanya tentang rakyatnya.”
Maka
wajib bagi kita untuk mengetahui kedudukannya dan menghormatinya,
bahkan mencintai apa yang telah dia tegakkan dari berbagai tugas yang
berat dan tanggung jawab yang sempurna.Telah dikeluarkan Imam Muslim
dalam shohihnya dari ‘Auf bin Malik Al-asyja’i berkata: bersabda
Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
:” خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ “
“
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka
mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka mendo’akan
kalian.”
Barangsiapa
yang memuliakan dan menghormati penguasanya, maka Allah akan
memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang tidak
memuliakannya, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat
sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad- nya dari Abu
Bakroh berkata: aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
”
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا
أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ”.
“Barangsiapa
yang memuliakan penguasanya Allah tabaroaka wata’ala di dunia, maka
Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang
menghinakan penguasanya Allah tabaroka wata’ala di dunia maka Allah
akan menghinakannya pada hari kiamat.”(3)
Dan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang ingin
menemui penguasa dalam rangka memuliakannya maka senantiasa dia
mendapat jaminan dari Allah Ta’ala sebagaimana yang dikeluarkan Imam
Ahmad dalam musnad-nya dari Mu’adz berkata:
”
عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
خَمْسٍ مَنْ فَعَلَ مِنْهُنَّ كَانَ ضَامِنًا عَلَى اللَّهِ مَنْ عَادَ
مَرِيضًا أَوْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ أَوْ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَوْ دَخَلَ عَلَى إِمَامٍ يُرِيدُ بِذَلِكَ تَعْزِيرَهُ
وَتَوْقِيرَهُ أَوْ قَعَدَ فِي بَيْتِهِ فَيَسْلَمُ النَّاسُ مِنْهُ
وَيَسْلَمُ “
“Rasulullah
صلى الله عليه وسلم telah menjanjikan kami lima perkara yang
barangsiapa yang melakukan salah satu darinya maka senantiasa dia
mendapat jaminan keamanan dari Allah: barangsiapa yang mengunjungi
orang sakit, atau keluar bersama jenazah, atau keluar berperang di
jalan Allah atau menemui seorang imam yang dia ingin memuliakan dan
menghormatinya ataukah duduk di rumahnya agar manusia selamat darinya
dan diapun selamat.”(4)
Dan
adalah para ulama salaf mendatangi penguasa dan
menghormatinya,sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam musnad-nya
dari Mughiroh rahimahullah bahwa dia berkata:
” كُنَّا نَهَابُ إِبْرَاهِيمَ هَيْبَةَ الْأَمِيرِ “
“Sesungguhnya kami segan kepada Ibrohim seperti segannya kami kepada penguasa.”
HORMATNYA ULAMA KEPADA PEMERINTAH BUKAN MENJILAT
Sesungguhnya
penghormatan para ulama terhadap penguasa merupakan hal yang sunnah
dan merupakan petunjuk salafus sholih –semoga Allah meridhai mereka
semua-, berbeda halnya apa yang diseru oleh sebagian orang-orang yang
jahil bahwa penghormatan ulama kepada penguasa dengan tujuan
mendapatkan kedudukan atau menjilat dihadapan para penguasa.
Berkata para Imam Dakwah:
“diantara
yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang disangka kebanyakan
orang-orang yang jahil dalam hal tuduhan mereka terhadap ahli ilmu dan
agama bahwa mereka menjilat, merendahkan kedudukannya, dan meninggalkan
kewajiban yang wajib ditegakkannya dari perintah Allah subhanahu
wata’ala dan menyembunyikan apa yang mereka ketahui dari kebenaran, dan
berdiam diri untuk menjelaskannya. Sementara orang-orang jahil ini
tidak tahu bahwa menggunjing ahli ilmu dan agama, dan merusak
kehormatan kaum mukminin adalah racun pembunuh, penyakit terpendam, dan
dosa yang jelas dan nyata. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا
فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً (الأحزاب:58)
“Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.”(QS. Al-Ahzab:58)
HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENGHINAKAN PENGUASA
Barangsiapa
yang merendahkan penguasa, maka sungguh dia telah melepaskan tali
kekang Islam dari lehernya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad
dalam musnadnya dari Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa-alihi wasallam berkhutbah dihadapan kami lalu
bersabda:
”
إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ
يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ “
“Sesungguhnya
akan muncul setelahku penguasa, maka janganlah engkau menghinakannya,
barangsiapa yang ingin menghinakannya maka sungguh dia telah melepaskan
tali kekang Islam dari lehernya.”(5)
Yang
dimaksud ribqoh adalah tali yang diletakkan dileher hewan, dan yang
dimaksud adalah perjanjian. Berkata Ibnul Atsir: ribqoh asalnya adalah
ikatan tali yang diletakkan pada leher binatang ternak atau ditangannya
sehingga menahannya, maka digunakan istilah ini kepada Islam, yaitu
apa yang seorang muslim mengikat dirinya dengannya berupa ikatan tali
Islam, berupa batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah dan
larangannya.”(6)
WAJIB MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PENGUASA
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء: من الآية59)
“Hai
orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS.An-Nisaa:59)
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
”
طَاعَةُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ وَ طَاعَةُ
وُلَاةِ الأُمُوْرِ وَاجِبَةٌ لِأَمْرِ اللهِ بِطَاعَتِهِمْ “
“Taat
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap orang,dan taat
kepada penguasa adalah kewajiban berdasarkan perintah Allah untuk
mentaati mereka.”(7)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah (tentang ayat 59 An Nisa’):
“Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama(8)
Dan berkata Imam Nawawi rahimahullah:
”Yang
dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk
mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat
mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan
selainnya.”(9)
Dan berkata As Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala:
”Ayat
ini adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa
dan para ulama, dan telah datang dalam sunnah yang shohih dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini
sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara
ma’ruf.”(10)
BUTUHNYA MANUSIA KEPADA HAKIM YANG MEREKA DENGAR DAN TAATI
Telah
diketahui secara pasti dalam Islam bahwa tidak ada agama kecuali dengan
jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah, dan tidak ada
imamah kecuali dengan mendengar dan taat, dan keluar dari ketaatan
kepada waliyyul amri termasuk diantara sebab terbesar munculnya
kerusakan diberbagai negara, rusaknya para hamba dan penyimpangan dari
jalan hidayah dan petunjuk.”(11)
Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah Ta’ala:
و الله لا يستقيم الدين إلا بولاة الأمر و إن جاروا و ظلموا و الله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون
“Demi
Allah, tidaklah tegak agama kecuali dengan penguasa, walaupun mereka
berbuat kedzaliman, demi Allah apa yang mereka perbaiki lebih banyak
daripada kerusakan mereka.”(12)
Berkata Ibnu Rojab Al Hambali Rahimahullah Ta’ala :
”Mendengar
dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat
kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba
dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu
mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.”(13)
Dan
keluar dari ketaatan kepada penguasa dan memberontak kepadanya dengan
perang atau yang lainnya adalah merupakan kemaksiatan dan penympangan
dari jalan Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi keyakinan ahlus sunnah
wal jama’ah dan as-salafus sholeh.(14)
TAAT KEPADA PENGUASA BERARTI TAAT KEPADA RASUL صلى الله عليه وسلم
Telah
dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa mentaati penguasa
merupakan bentuk ketaatan kepadanya صلى الله عليه وسلم, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ
فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa
yang taat kepadaku maka sungguh dia telah taat kepada Allah dan
barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah durhaka
(bermaksiat) kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati pemimpin maka
sungguh dia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang durhaka kepada
pemimpin maka sungguh dia telah durhaka kepadaku.”
WASIAT NABI صلى الله عليه وسلم AGAR MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN
Bahkan
Nabi صلى الله عليه وسلم menjadikan kewajiban mendengar dan taat kepada
pemimpin sebagai wasiat Beliau setelah wasiat taqwa kepada Allah azza
wajalla, sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam sunan-nya dari
Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah صلى الله عليه
وسلم telah menasehati kami dengan nasehat yang sangat menyentuh, yang
menyebabkan berlinang air mata kami, dan bergetar hati-hati kami, maka
seseorang berkata: wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat
orang yang hendak berpisah, maka berikanlah kepada kami wasiat, maka
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا “
“Aku
wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat
(kepada pemimpin) walaupun dia seorang budak dari habsyi.”(15)
Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu berkata:
:” إِنَّ خَلِيلِي أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ “
“Sesungguhnya
kekasihku shallallahu alaihi wasallam telah mewasiatkan kepadaku agar
aku mendengar dan taat walaupun dia seorang budak yang terpotong
bagian-bagian tubuhnya.”
PERINTAH MENDENGAR DAN TAAT DALAM SETIAP KEADAAN
Nabi
shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk senantiasa mendengar
dan taat kepada penguasa dalam setiap keadaan, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Hurairoh
Radhiyallahu’anhu berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
” عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ “
“Wajib
atas kalian mendengar dan taat dalam keadaan sulitmu dan mudahmu,
dalam keadaan rajinmu dan terpaksamu, dan mereka merampas hak-hakmu.”
Makna
“mansyat” adalah disaat engkau rajin, dan makna “makroh” adalah disaat
engkau benci,dan yang dimaksud adalah disaat engkau senang dan marah,
sulit dan mudah.
TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TAAT DALAM KEMAKSIATAN
Nabi
صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa mendengar dan taat kepada penguasa
adalah wajib selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika
mereka memerintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengar dan
ditaat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus, adapun perintah yang
lainnya maka tetap wajib didengar dan ditaati, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Bukhari dalam shohihnya dari Abdullah radhiallahu anhu
dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
”
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ “
“Mendengar
dan taat adalah kewajiban atas setiap muslim terhadap apa yang dia
senangi dan yang dia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat
kemaksiatan, maka jika diperintah untuk bermaksiat maka tidak boleh
mendengar dan taat.”
Berkata
para Ulama: maknanya adalah: wajib mentaati penguasa disaat sulit dan
tidak disukai oleh jiwa, dan selainnya selama dalam perkara yang bukan
kemaksiatan. Jika berupa kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan
taat. Sedangkan makna: “tidak boleh mendengar dan taat” adalah dalam
perkara yang diperintahkan berbuat maksiat saja, jika diperintah untuk
mengerjakan yang haram, maka wajib untuk tidak mentaatinya dalam
perkara tersebut, maka jangan dia menurutinya, sebab taat kepada Allah
lebih wajib. Dan jangan difahami bahwa jika diperintah berbuat maksiat
maka tidak boleh mendengar dan taat secara mutlak dalam setiap
perintahnya, namun dia tetap mendengar dan taat secara mutlak, kecuali
dalam kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.(16)
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:
Pertama:
bahwa itu termasuk yang Allah perintahkan, maka wajib bagi kita
mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah
mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat, maka
wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah dan
mematuhi perintah mereka. Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ }
“Wahai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.”(QS.An-Nisaa: 59).
Keadaan
Kedua: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang Allah melarangnya,
maka dalam keadaan ini kita mengatakan: kami mendengar dan taat kepada
Allah dan kami menyelisihi kalian, sebab tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada al-Kholiq, seperti kalau mereka
mengatakan: janganlah kalian sholat jama’ah di masjid-masjid, maka kita
menjawab: tidak boleh mendengar dan mentaatinya.
Keadaan
Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat
perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak terdapat pula larangan dari
Allah dan Rasul-Nya: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak
mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena
Allah yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah صلى
الله عليه وسلم memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau
bersabda:
“اسمع و أطع و إن ضرب ظهرك و أخذ مالك”
“Dengar dan taatlah,walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.”(17)
Dan
para shahabat Radhiyallahu’anhum bertanya kepada beliau shallallahu
alaihi wasallam tentang para penguasa yang merampas harta mereka dan
mengambil hak-hak rakyatnya? Maka beliau menjawab:
عليهم ما حملوا و عليكم ما حملتم
“Mereka menanggung atas perbuatan mereka (atas kedhalimannya), sedangkan kalian menanggung atas apa yang kalian lakukan.”
Dan beliau telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat . (18)
KESALAHAN PENDAPAT YANG MENGATAKAN: TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMERINTAH
Diantara
manusia ada yang mengatakan: tidak boleh mendengar dan taat kepada
pemerintah dengan alasan bahwa hadits-hadits yang disebutkan tentang
mendengar dan taat hanyalah pada imam yang menyeluruh (khalifah) bukan
yang khusus, dan ini sudah tentu perkataan yang batil yang menyelisishi
ijma’ para ahli ilmu.
Berkata syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab:
”Para
imam dari setiap madzhab sepakat bahwa barangsiapa yang meguasai sebuah
negeri, maka dia hukumnya sama dengan hukum imam dalam setiap keadaan,
kalau bukan karena hal ini maka urusan dunia tidak akan tegak, sebab
manusia semenjak zaman yang berkepanjangan, dari sebelum zaman imam
Ahmad hingga zaman kita sekarang ini, mereka tidak sepakat di atas satu
imam, namun mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang
mengatakan bahwa tidak sah hukum apa pun yang diterapkan kecuali bila
ada imam yang menyeluruh.”(19)
Berkata Imam Asy-Syaukani:
”Merupakan
hal yang dimaklumi bahwa pada setiap wilayah mempunyai penguasa
tersendiri, demikian pula diwilayah lainnya, dan tidaklah mengapa bila
terdapat beberapa penguasa, dan wajib mentaati setiap dari mereka
setelah dibaiat oleh penduduk negeri tersebut yang akan menjalankan
perintah dan larangannya, demikian pula penduduk dinegeri yang lain.
Barangsiapa yang mengingkari ini maka dia telah mendustakan nash, dan
tidak sepantasnya diajak berdialog tentang hujjah sebab dia tidak
memahaminya.”(20)
KESALAHAN ORANG YANG MENDUDUKKAN DIRINYA SEPERTI PENGUASA
Diantara
manusia ada yang mendudukkan dirinya seperti kedudukan penguasa yang
mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur manusia, maka diapun
mengajak sekelompok manusia untuk mendengar dan taat kepadanya, ataukah
sekelompok manusia itu membaiatnya untuk mereka dengar dan taati
aturannya, padahal dinegeri tersebut ada penguasa yang nampak ditengah
mereka !
Tidaklah
diragukan lagi bahwa ini merupakan kesalahan besar dan dosa yang
berat, barangsiapa yang melakukan ini maka sungguh dia telah menentang
Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan menyelisihi
nash-nash syari’at, maka tidak wajib mentaatinya bahkan diharamkan,
sebab dia tidak punya kekuasaan dan tidak punya kemampuan sama sekali,
maka atas dasar apa ucapannya didengar dan ditaati sebagaimana didengar
dan ditaatinya penguasa yang tegak dan nampak.
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Nabi
shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mentaati para pemimpin
yang ada wujudnya dan diketahui memiliki kekuasaan yang dengannya
mereka mampu untuk mengatur manusia, bukan mentaati yang tidak ada
wujudnya dan yang majhul, dan juga tidak memiliki kekuasaan dan
kemampuan sama sekali.”(21)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA ATURAN UMUM TIDAK WAJIB DIDENGAR DAN DITAATI
Diantara
manusia ada yang mengatakan: seseorang punya hak untuk keluar dari
aturan umum yang telah diatur oleh pemerintah, dan tidak wajib terikat
dengannya, dan tidak wajib mentaatinya, seperti tanda lalu lintas,
pengurusan surat-surat paspor, dan yang lainnya. Dengan alasan bahwa
itu tidak dibangun diatas pondasi syari’at, dan mentaati penguasa
hanyalah dalam perkara- perkara syari’at saja, adapun dalam perkara
yang mubah dan mandub (disukai) maka tidak wajib !!!
Dan
tidaklah diragukan bahwa kesalahan ini muncul dari minimnya ilmu yang
dimilikinya. Berkata Imam Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah Ta’ala:
“Ini
adalah suatu kebatilan dan kemungkaran, bahkan wajib hukumnya mendengar
dan taat dalam perkara-perkara tersebut yang tidak ada kemungkaran
padanya, Dimana penguasa telah mengaturnya demi kemaslahatan kaum
muslimin, wajib tunduk terhadapnya, mendengar dan taat dalam perkara
tersebut, sebab ini termasuk perkara yang ma’ruf yang memberi manfa’at
kepada kaum muslimin.”(22)
Berkata Al-Allamah Al-Mubarakfuri:
“seorang pemimpin jika memerintahkan kepada perkara yang mandub dan mubah maka wajib (ditaati).”(23)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA BOLEH BERPEGANG KEPADA DUA BAIAT
Sebagian
manusia ada yang menyangka bahwa boleh baginya berpegang kepada dua
baiat : baiat untuk penguasa muslim, dan baiat untuk pemimpin
kelompoknya. Tidaklah diragukan bahwa ini merupakan kesalahan yang
besar.
Berkata syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Tidak
boleh bagi seseorang memegang dua baiat, baiat untuk penguasa yang
menyeluruh disebuah negeri, dan baiat untuk pemimpin kelompok yang dia
berloyal kepadanya. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda
terhadap para musafir yang berjumlah tiga orang: “Hendaklan mereka
mengangkat pemimpin salah seorang dari mereka.”, bukan berarti bahwa
mereka berbaiat kepadanya, namun ini bermakna bahwa bagi suatu kumpulan
manusia haruslah ada seseorang yang yang menjadi pemberi keputusan
diantara mereka agar mereka tidak berselisih. Hal ini menunjukkan bahwa
perselisihan, sepantasnya bagi kita berusaha untuk menutup pintunya
dari setiap jalan.”(24)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA DIA TIDAK WAJIB MENDENGAR DAN TAAT KARENA DIA TIDAK PERNAH BERBAIAT KEPADA PENGUASA
Sebagian
manusia ada yang mengatakan: saya tidak pernah membaiat penguasa
tersebut maka saya tidak wajib mendengar dan taat !. Tidak diragukan
lagi bahwa ini adalah ucapan ngawur dan bodoh.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Apa
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam
dari ketaatan kepada penguasa dan menasehati mereka adalah perkara
yang wajib atas setiap manusia, walaupun dia tidak pernah mengikat
perjanjian (baiat) kepadanya, dan walaupun dia tidak bersumpah dengan
berbagai sumpah yang menekankan.”(25)
Dan berkata Syaikh Bin Baaz:
”Jika
kaum muslimin telah bersepakat diatas satu pemimpin, maka wajib secara
keseluruhan untuk taat kepadanya, walaupun dia tidak secara langsung
membaiatnya. Para shahabat dan kaum muslimin mereka tidak membaiat Abu
Bakar, namun yang membaiatnya adalah penduduk Madinah, maka baiat
tersebut berkonsekwensi bagi seluruhnya.”(26)
PANGGILAN JIHAD MERUPAKAN KEKHUSUSAN PENGUASA
Jihad
merupakan kekhususan yang paling agung dan yang terbesar dari
kekhususan yang dimiliki penguasa. Maka bila setiap individu boleh
menyerukannya maka akan membuat kekacauan. Maka kapan manusia, para
ulama, atau para penuntut ilmu diperkenankan menyeru kepada jihad ?
Jawabannya adalah apabila penguasa telah menyerukannya. Allah Ta’ala
berfirman:
{ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَال }
“Berilah semangat kepada kaum mukminin untuk berperang.”(QS.al-anfal:65)
Maka kaum mukminin mengikuti penguasa dalam hal ini.(27)
MELAKUKAN QUNUT DIMASJID HARUS DENGAN IZIN PENGUASA
Qunut
merupakan hal yang dianjurkan dan bukan wajib hukumnya. Nabi صلى الله
عليه وسلم melakukan qunut dalam satu tragedi dan meninggalkan qunut
ketika terjadi tragedi yang lain. Dan madzhab ahlul hadits serta
pendapat Imam Ahmad dan yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin: bahwa
qunut hanyalah bagi penguasa tertinggi, dan wakil imam boleh qunut
dengan idzinnya menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dan
Jumhur ulama berhujjah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم hanyalah qunut
dimasjidnya yang paling besar dan masjid lain di Madinah tidak
melakukan qunut, demikian pula di masa Umar, beliau qunut dan masjid
lain tidak melakukannya.”(28)
PENGUASA BERHAK MELARANG SEORANG ALIM UNTUK MENGAJAR
Berkata
syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: ”Jika penguasa memandang untuk
menyuruh salah seorang diantara kita untuk diam dan mengatakan: kamu
jangan berbicara, maka ini adalah udzur di sisi Allah untuk saya tidak
berbicara sebagaimana yang dia perintahkan kepadaku, sebab menjelaskan
kebenaran hukumnya adalah fardhu kifayah, tidak terkhusus hanya kepada
si Zaid atau Amr, sebab kalau kita menyandarkan kebenaran kepada
individu tertentu, maka kebenaran akan mati dengan matinya orang
tersebut. Namun kebenaran tidaklah disandarkan kepada individu
tertentu. Anggaplah mereka melarang saya dengan mengatakan: jangan kamu
berbicara, jangan kamu berkhutbah, jangan kamu menjelaskan pelajaran,
maka saya mendengar dan taat. Maka ketika saya pergi sholat, jika
mereka izinkan saya untuk menjadi imam maka saya menjadi imam. Dan jika
mereka mengatakan: jangan kamu mengimami manusia, maka akupun tidak
mengimaminya dan cukup menjadi makmum, sebab hak tersebut telah
didirikan oleh yang lain, dan bukan berarti bahwa jika mereka
melarangku, berarti telah melarang semua manusia. Dan kami memiliki
contoh dalam hal ini, dimana Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu
memberitakan dari Rasul Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau
memerintahkan orang yang sedang junub untuk bertayammum, sedangkan Umar
bin Khattab tidak memandang demikian, lalu Umar memanggilnya suatu
hari lalu berkata: hadits yang engkau sampaikan kepada manusia bahwa
orang junub bertayammum apabila tidak mendapatkan air? Maka dia
menjawab: apakah engkau tidak mengingat ketika Nabi shallallahu alaihi
wasallam mengutusku bersamamu dalam satu kebutuhan, lalu aku dalam
keadaan junub, maka akupun berguling-guling di tanah. Lalu aku
mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan aku mengabarkannya dan
beliau menjawab:”cukuplah bagimu berbuat dengan tanganmu demikian, lalu
beliau mengajarkan tayammum. Akan tetapi wahai amirul mukminin,
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atasku untuk taat kepadamu, maka
jika engkau melihat untuk aku tidak memberitakannya, maka saya
melakukannya.”
Allahu
akbar, shahabat yang mulia menahan diri untuk memberitakan hadits dari
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam karena adanya perintah khalifah
yang wajib ditaati, Namun Umar berkata kepadanya: tidak, aku tidak
mencegahmu, tapi aku menyerahkan hal tersebut kepadamu.”
Maka
jika penguasa memandang untuk melarang kaset-kaset Ibnu Utsaimin,
ataukah kaset Ibnu Baaz, atau kaset yang lainnya, maka kami tidak
menolak diri. Adapun kalau kita hendak menjadikan adanya prosedur
semacam ini untuk membangkitkan emosi masyarakat, terkhusus para
pemuda, untuk menjadikan hati mereka benci kepada penguasanya, maka ini
–demi Allah wahai saudaraku- merupakan kemaksiatan, dan merupakan
salah satu faktor terbesar yang menimbulkan fitnah dikalangan manusia.
Dan negeri kita (saudi) –sebagaimana yang telah kalian ketahui-
merupakan negeri kecil, ruang lingkupnya kecil, yang di dalamnya
terdapat jutaan kampung yang terpisah dan kabilah yang berbeda, kalau
bukan karena Allah Azza wajalla menganugerahi kita dengan disatukannya
kalimat diatas kekuasaan Abdul Aziz bin Su’ud, maka kita telah berpecah
dan saling membunuh. Di negeri ini, salah satu dari orang tua kami
mengabarkan kepadaku bahwa dahulu di bulan Ramadhan, mereka tidak
keluar untuk sholat tarawih kecuali apabila setiap mereka membawa
senjata disebabkan rasa takut yang terjadi di tengah negeri, adapun
sekarang sudah dalam keadaan aman, apa persangkaan kalian jika hal ini
berubah –semoga Allah tidak mentaqdirkannya-, apakah masih ada rasa
aman seperti ini?. Sekarang ini seseorang tatkala keluar dalam keadaan
mobilnya dipenuhi barang-barang berharga, apabila telah dikumandangkan
adzan maghrib, dia turun sholat sedangkan mobilnya diletakkan di marmal
hajar(29) atau didekatnya, dan dia tidak takut kecuali hanya kepada
Allah. Mengapa kita tidak menghargai rasa aman ini? Mengapa kita tidak
mengetahui bahwa jika hati manusia dalam keadaan saling membenci, maka
rasa aman menjadi hilang dan manusia menjadi kalap.
Walaupun
mereka melarang kaset si fulan dan fulan, tidak masalah, dan kita
tetap mengatakan: kami memohon kepada Allah agar memberi hidayah kepada
mereka. Apakah kita lebih berilmu, lebih faqih, lebih mengerti tentang
agama daripada Imam Ahmad. Beliau dipukuli dan bahkan diseret dengan
baghlah(30), dipukul dengan cambuk sehingga beliau tidak sadarkan diri.
Namun beliau tetap mengatakan: jikalau sekiranya aku memiliki do’a
yang mustajab, maka aku akan menujukannya untuk penguasa. Dan beliau
tetap memanggil khalifah Ma’mun dengan sebutan Amirul mukminin, dalam
keadaan Makmun menyeru kepada bid’ah yang besar, yaitu berpendapat bahwa
Al-Qur’an makhluk, bahkan keyakinan ini mereka ajarkan disekolah. Lalu
bagaiman jika kita melihat hal tersebut ada pada penguasa kita? Apakah
kalian mengetahui dari mereka(31) bahwa mereka mengajak kepada bid’ah
lalu mengatakan: barangsiapa yang menentang kami maka kami akan
membunuhnya, atau memenjarakannya, atau memukulnya? Aku tidak
mengetahui adanya hal tersebut!
Sesunggunya
ikhwan yang meributkan hal-hal seperti ini, mereka tidak membantu
kecuali kepada sekularisme, apakah kaum sekuler sekarang ini senang
negeri kita tetap ada? Tidak, sebab mereka tidak menghendaki Islam,
mereka menginginkan negara komunis yang mensederajatkan setiap orang
apakah dia yahudi, nashrani, penyembah berhala, ataukah muslim. Mereka
senang bila penguasa negeri marah terhadap kalian dengan adanya
selentingan seperti ini, sehingga mereka menghukum kalian, lalu mereka
(rakyat) pun hendak menyikapi pemerintahnya, sebab masyarakat umum
apabila hati mereka tidak senang kepada penguasanya, maka mereka
membencinya dan marah kepadanya lalu berusaha menjatuhkan tahtanya
dengan kekuatan, lalu mereka sendiri yang hendak menerapkan hukum
setelah (runtuhnya kekuasaan sebelumnya) –semoga Allah tidak
mentakdirkannya-. Perhatikanlah sekarang munculnya berbagai gejolak di
Mesir, Irak, Syam, apa yang dialami kaum muslimin, apakah berubah
keadaan mereka dari kejelekan menuju arah yang lebih baik, ataukah dari
kejelekan kearah yang lebih jelek? Para pemuda yang yang bangkit amarah
mereka dengan sebab perkara-perkara ini, mereka telah membantu kaum
sekuler dengan bantuan gratis secara tidak langsung.”(32)
WAJIB ILTIZAM KEPADA JAMA’AH
Sungguh
Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk beriltizam
(komitmen) kepada penguasa, dan tidak memberontak atasnya, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shohih-nya dari Hudzaifah bin
Yaman bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepadanya tentang zaman
kejahatan dan fitnah:
“Hendaklah engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan pemimpinnya.”
Hal
itu disebabkan karena penguasa adalah perisai dan pelindung bagi siapa
yang bersamanya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dan
Muslim dalam shohih kedua nya dari Abu Hurairoh رضي الله عنه bahwa Nabi
صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:”
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا
وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ”
“Sesungguhnya
pemimpin itu adalah perisai, yang (suatu kaum) berperang dibelakangnya
dan membentengi diri dengannya, Maka jika dia memerintahkan untuk
bertaqwa kepada Allah dan berbuat adil, maka sesungguhnya dia
mendapatkan pahala atas perbuatannya itu, namun jika dia berbuat yang
lain, maka dia mendapat dosa.”
PENGUASA ADALAH PEMELIHARA, DAN DIA SEBAGAI WALI BAGI YANG TIDAK MEMILIKI WALI
Telah
dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bahwa penguasa adalah
pemelihara kita, dan kita merupakan peliharaannya, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shohihnya dari Ibnu Umar رضي الله
عنهما bahwa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “
“setiap
kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian bertanggung jawab atas
peliharaannya, seorang Imam adalah pemelihara, dan bertanggung jawab
atas peliharaannya.”
Dan
beliau صلى الله عليه وآله وسلم , menjelaskan bahwa siapa yang tidak
mempunyai wali, maka penguasa adalah walinya, sebagaimana yang
dikeluarkan Ibnu Majah dalam sunan-nya dari Aisyah رضي الله عنها
berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم :
“السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “.
“Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (33)
WAJIB MEMULIAKAN DAN MENGHORMATI PEMIMPIN, DAN HARAMNYA MERENDAHKAN DAN MENGHINAKANNYA
Nabi
صلى الله عليه وآله وسلم menjelaskan bahwa penguasa adalah wajib
dimuliakan dan dihormati, dan diharamkan merendahkan dan
menghinakannya. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam
musnad-nya dan Tirmidzi dalam ”sunan” dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi
berkata: aku pernah bersama Abu Bakroh dibawah mimbar Ibnu Amir dalam
keadaan beliau sedang berkhutbah, memakai pakaian yang halus. Maka dia
berkata Abi Bilal: lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang
fasiq. Maka Abu Bakroh berkata: diam kamu. Sesungguhnya aku telah
mendengar Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
مَنْ
أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا
أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ”.
”Barangsiapa
yang memuliakan penguasa Allah تبارك وتعالى di dunia, maka Allah akan
memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang menghinakan
penguasa Allah تبارك وتعالى didunia, maka Allah akan menghinakannya
pada hari kiamat.”(34)
Maka
perhatikanlah, bagaimana Abu Bakroh رضي الله عنه menganggap sikap
mencela dan menjelekkan penguasa termasuk menghinakannya. Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah mengomentari kisah ini dengan mengatakan: Abu
Bilal ini seorang khawarij, dan termasuk kejahilannya, dia menganggap
pakaian halus seseorang sebagai pakaian orang yang fasiq.(35)
PERINTAH UNTUK BERSABAR,LARANGAN DARI MENINGGALKAN KETAATAN KEPADA PENGUASA
Sebagaimana
Nabi صلى الله عليه وآله وسلم memerintahkan untuk bersabar dan melarang
dari melepaskan ketaatan (dalam perkara ma’ruf), walaupun dia melihat
penguasa tersebut melakukan kemaksiatan, sebagaimana yang dikeluarkan
Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Auf bin Malik berkata: telah bersabda
Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم :
:”
مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ
اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا
يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ “
“Barangsiapa
yang memimpinnya, lalu dia melihat dia melakukan kemaksiatan kepada
Allah, maka hendaklah dia membenci apa yang dia kerjakan dari maksiat
kepada Allah dan jangan dia melepaskan diri dari ketaatan kepadanya
(dalam hal yang ma’ruf)”
Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
مَنْ
كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ
أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ
إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa
yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah
dia bersabar, karena tidaklah seseorang keluar dari penguasa walapun
sejengkal, melainkan dia mati seperti matinya kaum jahiliyyah.”
Dan
Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam tarikh-nya dari Wa’il bahwa dia
bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وآله وسلم : bagaimana jika kami
memiliki pemimpin yang tidak mengamalkan ketaatan? Beliau صلى الله عليه
وآله وسلم menjawab:
“Mereka bertanggungjawab atas apa yang mereka pikul dan kalian pun bertanggung jawab atas apa yang kalian pikul”
Dan
Imam Muslim mengeluarkan dalam shohihnya dari Hudzaifah bin Yaman رضي
الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:”
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ
بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ
الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan
muncul setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari
petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku,dan akan tegak diantara mereka
orang-orang yang hatinya adalah hati syetan dalam jasad manusia.”Aku
bertanya, “apa yang akan aku lakukan wahai Rasulullah jika aku
menemukan yang demikian.” Beliau menjawab: ”engkau mendengar dan taat
kepada pemimpin walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu,
maka dengar dan taatlah.”
Maka
perhatikanlah hadits yang agung ini yang kebanyakan manusia lari
darinya,dimana Rasul صلى الله عليه وآله وسلم memerintahkan untuk taat
kepada pemimpin walaupun pemimpin itu mendzaliminya dengan merampas
harta dan memukul punggung. Maka bagaimana keadaan manusia yang tidak
punya kesabaran dan ketaatan, pada mereka belum sampai kepada kondisi
demikian ini –Walhamdulillah- bahkan demi Allah mereka dalam keadaan
mendapatkan nikmat yang besar dan anugerah yang luar biasa.
BERSABAR DARI KEDZALIMAN PENGUASA TERMASUK PRINSIP DAKWAH SALAFIYYAH
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : ”Bersabar terhadap kedzaliman penguasa
adalah salah satu prinsip dari prinsip ahlus sunnah wal jama’ah”(36)
Dan
ini benar, sebab perintah untuk bersabar terhadap kedzaliman penguasa
dan penganiayaan mereka mendatangkan kemaslahatan dan menolak adanya
kemudhoratan, juga menjadi kebaikan bagi hamba dan negara.
Berkata
Ibnu Taimiyyah: “Apa yang terdapat pada kedzaliman mereka dan
melampaui batas, apakah dengan penakwilan yang dibenarkan atau tidak,
maka tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan
kedzaliman dan melampaui batas pula, sebagaimana kebiasaan kebanyakan
manusia yang menghilangkan kejahatan dengan mendatangkan sesuatu yang
lebih jahat, dan menghilangkan permusuhan dengan sesuatu yang lebih
mendatangkan permusuhan, maka keluar dari ketaatan terhadap mereka
menyebabkan kedzaliman dan kerusakan yang lebih dahsyat dari kedzaliman
penguasa itu sendiri, maka hendaklah bersabar atasnya sebagaimana
halnya sikap sabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar atas kedzaliman
yang diperintah dan yang dilarang dalam banyak nash.”(37)
Berkata
Syaikh Bin Baaz: “Keluar dari penguasa menyebabkan kerusakan yang
besar, dan kejahatan yang dahsyat, yang menyebabkan rasa aman menjadi
hilang, dan terabaikan hak-hak, sehingga tidak memungkinkan untuk
menghentikan kelakuan orang yang dzalim dan menolong yang
terdzalimi.”(38)
Dan
berkata para imam dakwah: ”Apa yang dilakukan oleh para penguasa dari
berbagai kemaksiatan dan penyelisihan syari’at yang tidak menyebabkan
kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan
cara yang syar’i dengan lemah lembut, dan mengikuti apa yang telah
diamalkan salafus soleh dengan tidak menjelek-jelekkan mereka di
berbagai majelis dan kumpulan manusia, lalu meyakini bahwa yang
demikian itu termasuk dari nahi mungkar yang diingkari oleh setiap
hamba. Ini adalah kesalahan fatal, dan kejahilan yang nampak, orang yang
mengatakannya tidak mengetahui akibat dari perbuatan tersebut berupa
kerusakan yang besar baik dalam dunia dan agama, sebagaimana yang telah
diketahui hal tersebut oleh orang yang mendapatkan penerangan hati
dari Allah dan mengenal metode salafus shaleh dan para pemimpin
agama.”(39)
Tatkala
sebagian para ulama hendak melepaskan ketaatan dari kekuasaan khalifah
al-Watsiq dengan sebab fitnah pernyataan “Al-qur’an itu makhluk”, Imam
Ahmad mencegahnya dan mendebat sikap tersebut dan mengatakan:
”Hendaklah kalian mengingkarinya dengan hati-hati kalian, jangan kalian
melepaskan ketaatan, dan memecahkan tongkat (persatuan) kaum muslimin,
jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin, darah
kaum muslimin bersama kalian, hendaklah kalian memandang akibat
perbuatan kalian, bersabarlah sampai merasa tenang orang yang baik, dan
diistirahatkan dari orang yang fajir, dan bukanlah hal ini –yaitu
melepaskan ketaatan dari penguasa – dibenarkan, ini menyelisihi atsar.”
Sebagian
mereka ada yang mengatakan: “Sesungguhnya kami mengkhawatirkan atas
anak-anak kami jika perkara ini semakin nampak, dan mereka tidak
mengetahui selainnya, sehingga Islam menjadi hilang dan terhapus.”(40)
Maka Imam Ahmad mengatakan kepada mereka:
كلا إن الله عز و جل ناصر دينه و إن هذا الأمر له رب ينصره و إن الإسلام عزيز منيع
”Sekali-kali
tidak, sesungguhnya Allah عز وجل menolong agamanya, dan sesungguhnya
perkara ini, ada Robb yang akan menolongnya, dan sesungguhnya Islam itu
mulia dan terbentengi.”
Maka
mereka keluar dari Abu Abdillah (Imam Ahmad), dan beliau tidak menjawab
mereka sedikitpun dari perkara yang mereka inginkan melainkan beliau
melarang dari perbuatan tersebut , dan membantah mereka untuk
senantiasa mendengar dan taat sampai Allah menyelamatkan umat ini
darinya, namun mereka tidak menerimanya.(41)
Berkata Al-Allamah Imam Abdul Latif aalus syaikh rahimahullah :
“Mayoritas
para pemimpin Islam dari masa Yazid bin Mu’awiyah, kecuali Umar bin
Abdil Aziz dan siapa yang Allah kehendaki dari Bani Umayyah, telah
terjadi dari mereka berbagai tindakan kelancangan, peristiwa yang
besar, keluar dari ketaatan, kerusakan dalam kekuasaan kaum muslimin.
Namun sejarah para imam, tokoh-tokoh, para pembesar Islam yang mulia
adalah hal yang ma’ruf dan masyhur, mereka tidak melepaskan baiat dari
mentaati sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dari syari’at
Islam. Tidak diketahui bahwa ada seseorang dari kalangan para imam yang
melepaskan baiat dari ketaatan, dan tidak berpandangan bolehnya
memberontak atas mereka.”(42)
BARANGSIAPA YANG MELEPAS KETAATANNYA, TIDAK ADA HUJJAH BAGINYA PADA HARI KIAMAT
Nabi
صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa barangsiapa yang melepaskan
baiat taatnya, maka tidak ada hujjah baginya pada hari kiamat, dan
keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Ibnu Umar رضي الله عنهما
berkata : bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
:” مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “
“Barangsiapa
yang melepaskan baiatnya dari ketaatan, maka dia tidak memiliki hujjah
pada hari kiamat, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan dia
memisahkan diri dari jama’ah maka dia mati seperti matinya kaum
jahiliyyah”(43)
Berkata
Ibnu Abi Jamroh: ”Yang dimaksud memisahkan diri adalah berusaha
melepaskan baiat yang telah sah dari seorang pemimpin, walau sekecil
apapun, maka beliau menggunakan kata kiasan dengan “sejengkal”, sebab
melakukan hal tersebut mengakibatkan tertumpahnya darah tanpa haq”.
Berkata
Al-Hafidz: “Yang dimaksud dengan kematian ala jahiliyyah, adalah
keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah diatas kesesatan dimana
ia tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, sebab mereka tidak
mengenal itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa dia mati dalam keadaan
kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat.(44)
BARANGSIAPA YANG MELEPASKAN KETAATANNYA, TERMASUK ORANG YANG MENGKHIANATI JANJI PADA HARI KIAMAT
Barangsiapa
yang melepaskan ketaatannya, maka dia termasuk diantara orang yang
ingkar janji pada hari kiamat, sebagaimana yang dikeluarkan Imam
Bukhari dalam shohih-nya dari Nafi’ berkata: tatkala penduduk Madinah
melepaskan ketaatannya dari Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan
para pelayan dan anak-anaknya, lalu berkata: sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Dipasang bendera bagi setiap yang mengkhianati janji pada hari kiamat”
Dan
sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (maksudnya Yazid bin
Muawiyah,pen) diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, dan sesungguhnya aku
tidak mengetahui pengkhianatan yang lebih besar dari seseorang yang
telah dibaiat diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, lalu ditegakkan
peperangan terhadapnya. Dan sesungguhnya aku tidak mengetahui
seorangpun dari kalian yang melepaskan baiat dan tidak membaiat pemimpin
ini melainkan itu adalah pemutus hubungan antaraku dengan dia.
Berkata
al-Hafidz Ibnu Hajar: “Dalam hadits ini menunjukkan wajibnya mentaati
pemimpin yang telah dtetapkan padanya baiat, dan larangan melakukan
pemberontakan terhadapnya walaupun dia dzalim dalam hukumnya, dan
sesungguhnya tidak terlepas (ketaatan) dengan sebab adanya
kefasikan.”(45)
HUKUMAN
BAGI YANG MEMBAIAT PENGUASA KARENA DUNIA, JIKA DIA DIBERI MAKA DIA
MEMBAIAT, DAN JIKA TIDAK DIBERI MAKA DIA TIDAK MEMBAIAT
Nabi
صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa yang membaiat penguasa karena
dunia, jika diberi dia menyempurnakan baiatnya, dan jika tidak maka dia
tidak menyempurnakan baiatnya, maka Allah tidak akan berbicara
dengannya, tidak memperhatikannya, dan tidak mensucikannya, dan baginya
adzab yang pedih. Sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari
dalam shohih-nya dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah
bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
ثَلَاثَةٌ
لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِطَرِيقٍ يَمْنَعُ
مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا
لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ وَإِلَّا لَمْ يَفِ
لَهُ وَرَجُلٌ سَاوَمَ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ
بِاللَّهِ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا كَذَا وَكَذَا فَأَخَذَهَا”.
“Tiga
golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka, Allah tidak
memandang mereka, dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka azab
yang pedih: seseorang memiliki kelebihan air di sebuah jalan, yang dia
mencegah ibnu sabil dari mengambilnya. Dan seseorang yang membaiat
seorang (pemimpin), dia tidak membaiatnya kecuali hanya karena dunia,
jika dia diberi apa yang dia inginkan maka dia menyempurnakan baiatnya,
dan jika tidak maka dia tidak menyempurnakannya. Dan seseorang yang
menjual barang dagangannya setelah ashar ,lalu dia bersumpah dengan
nama Allah ,sungguh dia telah memberi seharga demikian, maka dia pun
mengambilnya.”
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahumullah : “Barangsiapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menaati pemerintahnya karena Allah,
maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak taat kepadanya
kecuali sebatas apa yang diperolehnya dari kekuasaan dan harta, jika
mereka memberi maka diapun mentaatinya, dan jika mereka enggan memberi
maka dia pun membangkang, maka dia tidak akan mendapat bagiannya di
akhirat.”(46)
PERINTAH BERSABAR WALAUPUN MEREKA LEBIH MEMENTINGKAN HAKNYA DAN MENCEGAH HAK RAKYAT
Nabi
صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa suatu saat nanti akan
terjadi atsaroh, yang artinya adalah memonopoli sesuatu terhadap
sesuatu yang lain yang memiliki hak padanya. Dan Nabi صلى الله عليه
وسلم tidak memerintahkan kita untuk keluar dari ketaatan kepadanya atau
membangkang dari perintahnya, bahkan beliau memerintahkan untuk tetap
menunaikan kewajibannya. Sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari
dalam shohihnya dari Abdullah berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم
berkata kepada kami:
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا
تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ
وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ “
“Sesungguhnya
kalian akan melihat setelahku atsaroh, dan perkara-perkara yang kalian
ingkari.” (para shahabat) bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan
kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: ”Tunaikan kewajiban
kalian untuk mereka, dan mintalah kepada Allah hak kalian (yang
dirampas oleh mereka).”
Ucapan “perkara-perkara yang kalian ingkari”, maksudnya adalah dalam urusan agama.
Berkata
Imam Nawawi Rahimahullah: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk
senantiasa mendengar dan taat, walaupun pemimpin tersebut dzalim dan
melampaui batas, maka diberi haknya berupa ketaatan dan tidak keluar
darinya, dan tidak melepaskan (baiat) kepadanya, namun dia berdo’a
kepada Allah agar menghilangkan gangguannya dan menolak kejahatannya
dan memperbaikinya.”(47)
HUKUM PEMERINTAH YANG BERHUKUM DENGAN SELAIN YANG DITURUNKAN ALLAH
Berkata
Syaikh Bin Baaz Rahimahullah : barangsiapa yang berhukum dengan selain
yang diturunkan Allah, maka tidak keluar dari empat perkara:
1.
Siapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, karena lebih afdhal dari
syari’at Islam,” maka orang ini kafir dengan kufur akbar (mengeluarkan
dari Islam).
2.
Barangsiapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, karena seperti
syari’at Islam, maka berhukum denganya boleh dan dengan syari’at Islam
pun boleh,” maka orang ini kafir dengan kufur akbar.
3. Dan
siapa yang berkata: “Saya berhukum dengan ini, dan berhukum dengan
syari’at Islam lebih afdhal, namun boleh berhukum dengan selain dari
apa yang diturunkan Allah,” maka dia kafir dengan kufur akbar.
4. Dan
siapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, dan saya yakin bahwa
berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan Allah tidak boleh,” dan
dia berkata pula: “Berhukum dengan syari’at Islam labih afdhal, dan
tidak boleh berhukum dengan selainnya.” Namun dia terlalu
memudah-mudahkan, atau dia melakukannya karena perintah dari
penguasanya, maka dia kafir dengan kufur asghar dan tidak mengeluarkan
dari agama, dan dia dianggap melakukan dosa yang paling besar.(48)
MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PENGUASA TERMASUK DARI NASEHAT
Menasehati
penguasa termasuk diantara perkara agama yang terpenting, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohih-nya dari Tamim Ad-Dari bahwa
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ “
“Agama
itu nasehat,” kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: “Bagi
Allah, kitab-Nya ,Rasul-Nya, dan bagi pemimpin kaum muslimin dan
seluruh kaum muslimin.”
Diantara konsekwensi nasehat terhadap penguasa adalah mencintainya, mentaatinya, dan mendoakan kebaikan untuknya.
Berkata
Imam Ibnu Rojab: ”Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah
mencintai agar mereka menjadi baik, terbimbing dan adil, dan mencintai
bersatunya umat diatas kepemimpinannya, dan membenci terpecahnya umat
dari mereka. Dan ketaatan kepada mereka adalah menjadi bagian agama,
sebagai ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala , dan membenci orang
yang keluar dari ketaatan terhadap mereka. Dan senang memuliakan mereka
adalah bagian ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.(49)
Berkata
Syaikh Bin Baaz: “Diantara konsekwensi baiat adalah menasehati
penguasa, dan diantara bentuk nasehat adalah mendo’akannya agar diberi
taufik dan hidayah, dan kebaikan dalam niat dan amalan, dan mendapatkan
penasehat yang baik.”(50)
Para
ulama salaf sangat berupaya dan menganjurkan untuk mendo’akan penguasa
agar diberi kebaikan dan kesolehan. Fudhail bin ‘Iyyadh berkata:
“Kalaulah
sekiranya aku diberi do’a yang terkabul, maka aku tidak berdo’a
kecuali untuk kebaikan penguasa.” Lalu ada yang bertanya kepada
Fudhail: “Jelaskan kepada kami hal ini?” Berkata Fudhail: “Jika aku
peruntukkan bagi diriku, maka tidak akan melampaui diriku sendiri.
Namun jika kuperuntukkan bagi penguasa, maka pebguasa akan menjadi
baik, maka kebaikannya akan mendatangkan kemaslahatan bagi para hamba
dan negara.”
Berkata
Imam Al-Barbahari: “Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan
kebaikan, dan kita tidak diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan
kejelekan, walaupun mereka dzalim. Sebab kedzaliman dan sikap melampaui
batasnya mereka hanya terbatas pada diri mereka. Dan kebaikan mereka
menunjukkan kebaikan bagi diri mereka dan kaum muslimin.”(51)
TANDA AHLUS SUNNAH ADALAH MENDO’AKAN KEBAIKAN BAGI PENGUASA DAN TANDA AHLI BID’AH ADALAH MENDOAKAN KEJELEKAN ATAS PENGUASA
Diantara
tanda ahlus sunnah adalah mendo’akan penguasa dengan kebaikan dan agar
menjadi shaleh, serta diberi taufiq, dan diantara tanda ahli bid’ah
adalah mendo’akan kejelekan atas penguasa. Berkata Imam Barbahari:
“إذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى .و إذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله “
“Jika
engkau melihat seseorang mendo’akan kejelekan atas penguasa maka
ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu, dan jika engkau melihat
seseorang mendo’akan kebaikan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia
adalah Ahlus Sunnah insya Allah.”
ENGGAN MENDOAKAN KEBAIKAN KEPADA PENGUASA
Sebagian manusia ada yang mencegah diri dari mendo’akan penguasa. Dan tidak diragukan lagi bahwa ini suatu kesalahan.
Berkata Al-Allamah Bin Baaz Rahimahullah tentang orang yang enggan mendo’akan kebaikan bagi penguasa :
“Ini
termasuk dari kejahilannya, dan tidak memiliki ilmu. Mendo’akan
kebaikan untuk penguasa termasuk diantara pendekatan diri kepada Allah
yang paling agung, dan amalan ketaatan yang paling afdhal, dan termasuk
nasehat bagi Allah dan hamba-hamba-Nya.”
Dan
Nabi صلى الله عليه وسلم tatkala dikatakan kepada beliau bahwa kabilah
Daus telah membangkang! Maka beliau berdo’a: “Ya Allah, berilah
petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka.” Beliau
mendo’akan kebaikan untuk manusia. Dan penguasa lebih utama untuk
dido’akan kebaikan, sebab baiknya penguasa pertanda baiknya umat. Dan
mendo’akannya termasuk do’a yang terpenting.”(52)
—————————————————————————-
1 Asy-syari’ah,Al-ajurri:1/371
2 Riwayat ini dilemahkan Al-Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358. (penterjemah)
3
Sanadnya dho’if, dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama
Ziyad bin Kusaib Al- Adawi. Berkata Al-Hafidz: maqbul. (pent).
4 Hadits ini dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’:3253.(pent).
5
Hadits ini dilemahkan oleh Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam
tahqiqnya terhadap kitab As- sunnah, karangan Ibnu Abi Ashim:no: 1020.
(pent.).
6 An-nihayah:2/190.
7 Majmu’ fatawa:35/16.
8 Tafsir Ibnu Katsir:1/530
9 Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308.
10 Al-ma’lum: 7
11 Nasihah muhimmah:23
12 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
13 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
14 Lihat :an-nasihah al-muhimmah:29
15 Di shohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shohihah,jil:6.No: 2735. (penterjemah).
16 Mu’amalatul hukkam: 78.
17
Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishohihkan Al-Albani dalam
silsilah al-ahadits as- shohihah,jil: 6, no:2739. (pent.)
18 Dari kaset: taat kepada penguasa.
(tambahan
penerjemah): adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani
dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishohihkan Al-Albani dalam shohih
al-jami’: 4088.
19 Ad-duror as-saniyyah:7/239,dan mu’amalatul hukkam: 24
20 As-sail al-jarror:4/512.secara ringkas.
21 Al-minhaj: 1/115
22 Al-ma’lum:19
23 Tuhfatul ahwadzi: 5/365
24 Dari kaset: taat kepada penguasa.
25 Al-majmu’:35/9
26 Dari kaset: taat terhadap penguasa.
27 oleh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/ 1422 H (33).
28 Sholeh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/1422 H (14)
29 Nama tempat kosong tanpa penghuni.
30 Peranakan kuda,atau jenis kuda kecil
31 Maksudnya adalah pemerintah Sa’udi arabia
32 Dar kaset: taat kepada penguasa
33
Diriwayatkan oleh Ashabus sunan kecuali An-Nasaai dari hadits Aisyah
radhiallahu anha.Dishohihkan Al-Albani dalam irwa’ al-gholil: 6/1840.
(penerjemah).
34 Telah disebutkan sebelumnya bahwa sanadnya lemah. (penterjemah).
35 Siyaru a’laam an-nubala’:14/508
36 Majmu’ fatawa: 28/179.
37 idem
38 Al-ma’lum:9
39 Nasihatun muhimmah:30
40
Syubhat ini dijadikan hujjah kebanyakan mereka yang tidak bersabar atas
kedzaliman penguasa!!! Maka perhatikanlah jawaban Imam Ahmad
rahimahullah dengan baik,engkau mendapatinya sesuai dengan sunnah.
41 Lihat: mihnah Imam Ahmad: 70-72,al-majmu’:12/488,dan al-mu’amalah:7
42 Ad-duror as-saniyyah : 7/177
43 Bahkan Imam Muslim pun meriwayatkan hadits ini. (penterjemah).
44 Fathul bari(13/7),dan al-mu’amalah: 68.
45 Fathul bari:13\68.
46 Al-majmu’:35/16
47 Syarah Muslim: 12/322
48 At-tahdzir min at-tasarru’ fit takfir,karya al-Urayni,: 22.
49 Jami’ al-ulum wal-hikam:1/222
50 Al-ma’lum:20.
51 Syarhus sunnah: 114.
52 Al-ma’lum:21
0 comments