Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
لَوْ
كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى
بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya
yang menjadi tolak ukur di dalam agama ini adalah akal pikiran niscaya
bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.
Dan sungguh aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusap bagian atas dua khufnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu
Dawud di dalam Sunan-nya no. 162.
Guru
kami, Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah berkata di dalam kitab
Al-Jami’us Shahih Mimma Laisa fish Shahihaini (1/61) Bab Ma Ja’a Fi
Dzammi Ra’yi (Bab Tercelanya Mengutamakan Akal Pikiran): “Hadits ini
shahih.” Para perawinya adalah perawi kitab Shahih kecuali Abdu Khair,
namun dia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in sebagaimana dinukilkan di dalam
kitab Tahdzibut Tahdzib).
Ucapan
shahabat yang mulia di atas mengisyaratkan kepada kita tentang
kedudukan akal di dalam agama, dan bahwa agama ini tidaklah diukur
dengan akal pikiran namun kembalinya kepada nash, yaitu apa kata Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan apa kata Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Namun
kita dapati ada sebagian manusia yang sangat mengagungkan akal sehingga
mereka memposisikan akal tersebut di atas Al Qur’an dan As-Sunnah.
Bila sesuai dengan akal, mereka terima, dan bila bertentangan dengan
akal –menurut mereka– mereka tolak atau simpangkan maknanya.
Islam Memuliakan Akal
Allah
menganugerahkan kepada manusia nikmat berupa akal pikiran yang
dengannya manusia terangkat kepada tingkatan taklif ilahiyyah (memikul
beban syariat sebagai hamba yang mukallaf). Dengan akal itu pula
manusia mengetahui taklif tersebut dan dapat memahaminya.1 Allah bekali
pula manusia dengan fithrah yang bersesuaian dengan wahyu yang mulia
dan agama yang haq, yang dibawa oleh para rasul Allah alaihimush
shalatu wassalam, yang Allah syariatkan dan Allah jadikan sebagai jalan
hidup bagi manusia tersebut, yang mana wahyu dan agama yang haq ini
tersampaikan lewat lisan para rasul yang mulia shalawatullahi wa
salamuhu alaihim ajma‘in. (Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallahi fihil
Hikmah wal ‘Aql, Asy-Syaikh Rabi‘, hal. 33)
Dengan
demikian, Islam tidaklah menelantarkan akal, dan tidak pula
mengangkatnya lebih dari porsinya namun akal ditempatkan pada tempatnya
dan digunakan dengan semestinya.
Al
Qur’an yang mulia telah banyak memberikan dorongan kepada kita untuk
mempergunakan akal pikiran. Kita diperintahkan untuk memikirkan Al
Qur’an hingga sampai pada keyakinan tentang kebenarannya, sebagaimana
kita diperintah untuk memikirkan ciptaan Allah untuk menambah keyakinan
kita kepada-Nya.
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an (memikirkan dan
merenungkannya)? Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
niscaya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(An-Nisa: 82)
“Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka ? Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan…” (Ar-Rum:
Allah
membuat banyak permisalan dalam Al Qur’an agar kita memikirkannya,
seperti ketika Dia menceritakan tentang permisalan kehidupan dunia:
“Permisalan
kehidupan dunia itu hanyalah seperti air yang Kami turunkan dari
langit lalu bercampurlah dengannya tumbuh-tumbuhan bumi dari apa yang
dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi itu telah memakai
perhiasannya dan indah (subur menghijau dengan berbagai jenis
tanamannya) sementara pemiliknya yakin mereka akan mampu memetik dan
menikmati hasilnya (dari tanam-tanaman tersebut), datanglah perintah
Kami pada waktu malam dan siang (sehingga rusak dan hancurlah tanaman
yang sudah diharapkan tadi). Lalu Kami jadikan tanaman itu seperti sudah
dituai seakan-akan ia tidak pernah ada di hari kemarin. Demikianlah
Kami menjelaskan ayat-ayat Kami bagi orang-orang yang mau berpikir.”
(Yunus: 24)
Islam Membimbing Akal
Akal
memiliki kemampuan yang terbatas sehingga ia tidak dapat mencapai
seluruh hakikat yang ada. Bila akal dilepaskan begitu saja tanpa
bimbingan niscaya ia bisa keliru dan terjerumus dalam kesesatan.
Sebagaimana kemaksiatan pertama yang dilakukan oleh makhluk terhadap
Rabbnya, ketika Iblis diperintah untuk sujud kepada Adam ‘alaihissalam
sebagai tanda penghormatan kepada Adam, Iblis enggan karena ia merasa
lebih mulia dan lebih tinggi daripada Adam. Ia diciptakan dari api
sementara Adam dari tanah. Menurut akal Iblis, api itu lebih mulia
daripada tanah.
“Aku
lebih baik daripadanya (Adam), Engkau ciptakan aku dari api sementara
dia Engkau ciptakan dari tanah liat.” (Al-A’raf: 12)
Dengan
begitu, akal perlu dibimbing oleh wahyu dan harus tunduk dengan wahyu,
karena wahyu itu dari firman Allah dan perkataan-Nya yang suci
sementara akal adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Karena akal
itu terbatas, syariat menetapkan ia tidak boleh berdalam-dalam membahas
perkara yang tidak mungkin dijangkau, seperti di antaranya memikirkan
Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hakikat-Nya, karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا
“Ilmu mereka (makhluk) tidak dapat meliputi Allah.” (Thaha: 110)
Selain
itu juga wahyu dan akal yang sehat tidaklah saling bertentangan. Wahyu
sebagai dasar pijakan, timbangan dan pengoreksi akal ketika ia
menyimpang dari kebenaran. Dengan begitu akal harus menganggap baik apa
yang dianggap baik oleh syariat dan mengganggap jelek apa yang
dianggap jelek oleh syariat. Akal seperti inilah yang dikatakan akal
sehat.
Agama Bukan dari Akal Pikiran
Al-Imam
Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Agama ini datang dari Allah
tabaraka wa ta`ala, bukan dari akal dan pendapat manusia. Ilmunya dari
sisi Allah melalui Rasul-Nya, maka janganlah engkau mengikuti agama
dengan hawa nafsumu yang menyebabkanmu terpisah dari agama hingga
engkau keluar darinya. Tidak ada dalil bagimu untuk menolak syariat
dengan akal atau hawa nafsu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjelaskan agama ini (As Sunnah) kepada para shahabat.
Para shahabat adalah Al-Jama’ah dan As-Sawadul A’zham. As- Sawadul
A’zham adalah kebenaran dan orang yang berpegang dengannya.” (Syarhus
Sunnah, hal. 66)
Yang Berbicara Agama dengan Akal adalah Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Para
perusak agama dari kalangan aqlaniyyun menempatkan akal di atas Al
Qur’an dan As Sunnah. Nama kelompok mereka bisa berbeda-beda namun sama
dalam sikap memposisikan akal mereka. Satu dari sekian kelompok
tersebut yang sekarang ini para da’inya sedang berteriak-teriak
memasarkan kesesatannya di negeri ini adalah kelompok yang diistilahkan
Jaringan Islam liberal (JIL)2 ataupun yang sejenis pemikirannya.
Orang-orang dalam jaringan ini berbicara tentang agama seenak perut
mereka dan menurut akal-akalan mereka, tidak dilandasi dengan Al
Qur’an, tidak pula dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang shahih, dan tidak pula dengan bimbingan para ulama
pendahulu kita yang shalih.
Padahal
posisi keilmuan mereka terhadap agama ini sangat memprihatinkan.
Bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang bodoh namun tidak tahu
bahwa dirinya bodoh. Walaupun ada di antara mereka yang bergelar
profesor, doktor dan gelar kesarjanaan lainnya, namun mereka tidak
paham sama sekali terhadap agama Allah ini. Sekilas kami membaca apa
yang mereka tulis dalam buku-buku mereka dan juga dalam situs mereka di
internet. Sungguh kita tidak mendapatkan dalil. Mungkin ada penyebutan
dalil, namun tidak pada tempatnya atau apa yang dibawakan itu lemah
dari sisi ilmu riwayah wa dirayah.
Ini
menunjukkan bahwa mereka tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana
yang batil. Terlebih lagi dalam ilmu hadits, ilmu yang mulia ini mereka
tidak paham sama sekali sehingga biasa kita dapati mereka menolak
hadits dengan perkataan yang membuat tertawa orang awam terlebih lagi
orang yang alim, seperti ketika mereka menolak hadits-hadits tentang
jilbab dinyatakan hadits-haditsnya ahad (Kritik atas Jilbab, situs JIL,
4/6/2003).
Mereka
membantah Al Qur’an dengan akal mereka atau dengan ucapan orang kafir.
Begitu pula terhadap hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahkan mereka menghinakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian
kenyataan yang ada pada kelompok sesat antek-antek Yahudi ini.
Jangankan orang rendahan mereka, orang yang ditokohkan di kalangan
mereka sebagai da’i mereka, seperti Ulil Abshar Abdalla, kenyataan
sesungguhnya adalah orang yang bodoh. Jangankan terhadap syariat, dalam
masalah bahasa Arab pun terlihat kedunguannya. Satu contoh, ketika ia
ditantang untuk mubahalah (saling berdoa agar dilaknat Allah bagi yang
berdusta) dalam satu seminar di Bandung, ia mengelak dengan beralasan
bahwa mubahalah itu berarti mengajak goblok, karena mubahalah itu dari
kata bahlul (goblok).
Lihatlah
kebodohan orang ini. Tidakkah kau tahu, Rasulullah pernah diperintah
oleh Allah untuk menantang mubahalah kepada ahlul kitab, apakah mungkin
dikatakan Allah menyuruh Nabi-Nya berlaku goblok?!!
“Maka
siapa yang mendebatmu dalam perkara ini setelah datang kepadamu ilmu
maka katakanlah: “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan (panggil
pula) anak-anak kalian, (kami panggil) istri-istri kami dan istri-istri
kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah
dan kita mohon kepada Allah agar laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta.” (Ali ‘Imran: 61)
Bila
dalam bahasa saja orang semacam ini ketahuan bodohnya lalu apatah lagi
dalam masalah syariat. Orang sebodoh ini berniat menyusun kitab tafsir
Al Qur’an (Situs JIL, 12/1/2004), maka tentu kita akan bertanya
kepadanya, dengan ilmu apa dia akan menulis tafsir? Adakah pengetahuan
dia dalam masalah ini, ataukah ia kembali pada hawa nafsunya dan pada
ucapan najis orang-orang kafir/orientalis yang punya hasad kepada Islam
dan muslimin?
Catatan Hitam Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Catatan-catatan
yang dibawakan di sini tidaklah secara keseluruhan mengingat
keterbatasan halaman yang ada, sehingga hanya kita bawakan beberapa di
antaranya beserta bantahan singkat terhadap mereka:
-
Mereka menganggap hukum Islam itu zalim sehingga bila diterapkan
syariat Islam yang pertama jadi korban adalah kaum wanita (situs JIL,
16/9/2001). Padahal justru hukum di luar Islamlah yang zalim, sementara
hukum Allah adalah seadil-adil dan sebaik-baik hukum. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Apakah
hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki padahal hukum siapakah yang
lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
(Al-Maidah: 50)
-
Mereka menggugat kebenaran Islam karena kata mereka kebenaran agama itu
relatif (situs JIL, 24/8/2002). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memilih agama Islam ini sebagai agama yang Dia ridhai:
وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Adakah seorang yang beriman akan meyakini bahwa Allah meridhai Islam yang belum tentu kebenarannya? Na’udzubillah min dzalik.
- Mereka menyamakan semua agama. Jelas hal ini menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ ألإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
“Siapa
yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima agama itu
darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali
‘Imran: 85)
-
Mereka mengajak melihat kebenaran pada agama lain, tanpa menganggap
hanya Islam agama yang benar (Zuly Qodir, Islam Liberal, hal. 134,
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, hal. 138-143). Sementara Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menyatakan dengan gamblang kekafiran orang- orang
Nasrani dan kalangan non muslim lainnya:
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah
Al-Masih putera Maryam,’ padahal Al-Masih sendiri bekata: ‘Wahai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan Allah dengan sesuatu maka pasti Allah mengharamkan
jannah baginya dan tempatnya adalah an-naar, tidaklah ada bagi orang-
orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga,’ padahal
sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
sesembahan yang satu (Allah). Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah: 72-73)
-
Nurcholis Majid membatasi musyrikin dengan para penyembah berhala Arab
sementara paganis India, China dan Jepang dimasukkannya sebagai ahli
kitab karena dianggap memiliki kitab suci yang intinya tauhid, sehingga
agama yang tidak diterima disisi Allah hanyalah agama penyembah
berhala Arab. (Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Ulil Abshar
Abdalla, situs JIL). Ketahuilah, musyrikin itu adalah semua orang yang
menyekutukan Allah dalam peribadatan sehingga paganis India, China dan
Jepang ataupun selainnya dari kalangan Yahudi dan Nasrani, semuanya itu
musyrikin.
-
Lontaran yang dilemparkan oleh Ulil Abshar Abdalla juga tak kalah
sesatnya. Dalam harian Kompas, terbitan Senin 18-10-2002, ia menulis
artikel Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam yang isinya ia membagi
syariat Islam menjadi ibadah dan muamalah. Yang ibadah untuk diikuti,
sedang yang muamalah seperti berjilbab, pernikahan, jual beli, hukum
qishash, dsb, tidak usah diikuti. Ia menyatakan Islam adalah nilai
generis yang bisa ada di Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi,
Taoisme, dan bisa jadi kebenaran Islam ada dalam filsafat Marxisme. Ia
juga menghina dan mengolok-olok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah tokoh historis yang harus
dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi
saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga
banyak kekurangannya). (situs JIL, 18/11/2022). Memang orang bodoh ini
tidak memahami firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan
jika engkau tanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu,
tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?’ Tidak perlu kalian
minta udzur karena kalian telah kafir setelah kalian beriman.”
(At-Taubah: 65-66)
- Si
Ulil ini pula dengan lancangnya menganggap halal apa yang diharamkan
oleh Allah I seperti pernyataannya bahwa vodka (sejenis minuman keras)
bisa dihalalkan di Rusia karena daerahnya sangat dingin. Padahal dalam
kasus yang sama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya oleh Dailam Al-Himyari tentang minuman memabukkan yang diminum
untuk mengatasi hawa dingin di daerah yang sangat dingin, maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Bahkan mereka yang tidak mau
berhenti meminumnya diperintahkan untuk dibunuh (HR. Ahmad, 4/231,
dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam
Al-Jami’us Shahih, 1/122-123).
- Sama
pula nyeleneh-nya ucapan Prof. Dr. Said Aqiel Siradj yang menyatakan
agama Yahudi, Kristen dan Islam semuanya membawa misi tauhid.
-
Demikian pula ucapan DR. Jalaluddin Rakhmat bahwa kafir itu bukanlah
label aqidah dan keyakinan namun merupakan label moral (situs JIL,
15/9/2003).
•
Mereka memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dengan mencintai
dan mengagumi pemikiran mereka, sehingga orang-orang ini bangga bisa
menimba ilmu di negeri Barat (situs JIL, 8/3/2004). Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/ teman dekat kalian, karena sebagian
mereka adalah kekasih bagi yang lainnya. Siapa di antara kalian yang
loyal terhadap mereka maka sungguh ia termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.” (Al-Maidah: 51)
Catatan-catatan
hitam yang ada ini tak jauh dari apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim
rahimahullah ketika memberikan gambaran tentang kaum munafiqin:
“Mereka
itu telah berpaling dari Al Qur’an dan As-Sunnah dengan mengolok-olok
dan merendahkan orang yang berpegang dengan keduanya. Mereka menolak
untuk terikat dengan hukum dua wahyu tersebut karena merasa bangga
dengan apa yang ada di sisi mereka dari ilmu yang sebenarnya tidaklah
bermanfaat banyaknya ilmu tersebut bagi diri mereka, kecuali hanya
menambah kejelekan dan kesombongan. Maka engkau lihat mereka
selama-lamanya berpegang teguh untuk mengolok-olok wahyu yang pasti.
الله يستهزئ بهم و يمدهم في طغيانهم يعمهون
“Allah
akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang
ambing dalam kesesatan mereka yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 15)
[Shifatul Munafiqin, hal. 7]
Hukuman bagi Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Dengan
sebagian catatan hitam yang telah dituliskan, maka wajib bagi penguasa
kaum muslimin memberikan hukuman yang keras bagi pengikut hawa nafsu
ini dalam rangka menunaikan nasehat terhadap agama Allah. Kalau perlu
ditangkap, maka ditangkap. Atau dipenjara, dipukul, diasingkan, ataupun
dipenggal lehernya dan hendaknya jangan diberikan keringanan sebagai
peringatan akan bahaya perbuatan hawa nafsu yang mengkaburkan agama
Allah.
Al-Imam
Al-Ajurri rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syari’ah, bab Hukuman yang
diberikan Al- Imam dan Penguasa kepada penghujat Allah dan Rasul-Nya
(pengikut hawa nafsu) mengatakan: “Sepantasnya bagi pemimpin kaum
muslimin dan para gubernurnya di setiap negeri bila telah sampai
padanya kabar yang pasti tentang pendapat/madzhab seseorang dari
pengikut hawa nafsu yang menampakkan pendapat/madzhabnya tersebut, agar
menghukum orang tersebut dengan hukuman yang keras. Siapa di antara
pengekor hawa nafsu itu yang pantas untuk dibunuh maka dibunuh. Siapa
yang pantas untuk dipukul, dipenjara dan diperingatkan maka dilakukan
hal tersebut padanya. Siapa yang pantas untuk diusir maka diusir dan
manusia diperingatkan darinya.”
Bila ada yang bertanya: “Apa argumen perkataanmu itu?”
Maka
dijawab dengan jawaban yang tidak akan ditolak oleh para ulama yang
Allah memberikan manfaat dengan ilmunya. Lihatlah bagaimana ‘Umar ibnul
Khaththab radhiallahu ‘anhu mencambuk Shabigh At-Tamimi4 dan beliau
menulis surat pada para pegawai beliau agar mereka memerintahkan
Shabigh berdiri di hadapan manusia hingga Shabigh ini mengumumkan
kejelekan dirinya.
‘Umar
juga menetapkan larangan kepada manusia untuk memberi sesuatu pada
Shabigh dan manusia diperintah pula untuk memboikotnya (tidak
mengajaknya bicara, tidak duduk bersamanya). Demikianlah keadaan
Shabigh seterusnya ia hina di tengah-tengah manusia.
Lihat
pula Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Di Kufah ia membunuh
sekelompok orang yang mengaku-aku bahwa Ali adalah tuhan mereka. Ali
menggali parit untuk mereka lalu membakar mereka dengan api.
Begitu
pula ‘Umar ibnu Abdil ‘Aziz menulis surat kepada ‘Adi ibnu Arthah
berkenaan dengan kelompok Qadariyyah5: “Engkau minta mereka untuk
bertaubat dari pemahaman sesat mereka. Bila mereka mau maka diterima
taubatnya, bila tidak maka penggallah leher mereka.”
Adapun
Hisyam bin Abdil Malik (dari kalangan umara Bani Umayyah) telah
memenggal leher Ghailan6 dan menyalibnya setelah ia memotong tangan
Ghailan.
Demikian
pula yang terus menerus berlangsung, para penguasa setelah mereka pada
setiap zaman berbuat demikian terhadap pengekor hawa nafsu. Bila telah
pasti hal itu di sisi mereka, mereka pun memberikan hukuman pada si
pengekor hawa nafsu tersebut dengan hukuman yang sesuai dengan apa yang
mereka pandang, sementara para ulama tidak mengingkari perbuatan
penguasa tersebut. (Kitab Asy-Syariah, Al-Al-Imam Al-Ajurri, hal.
967-968) 7
Penutup
Terlalu
banyak yang bisa kita tuliskan dan paparkan untuk membongkar kesesatan
kelompok akal-akalan seperti JIL ini. Sebagaimana yang kami sebutkan
di atas, sampah kesesatan yang mereka muntahkan kepada umat tidak
dibangun di atas dalil sedikitpun. Semoga tulisan ini membuka mata hati
masyarakat kita untuk mewaspadai kelompok-kelompok sesat yang ada agar
mereka mencari jalan keselamatan dengan kembali kepada agama Allah I
dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
1
Berbeda halnya dengan hewan yang tidak diberikan akal oleh Allah maka
hewan tidak dibebani dengan perintah-perintah dan larangan-larangan
syariat.
2
Namun nama yang sepantasnya buat mereka adalah Jaringan Sesat
Pengkaburan dan Pembinasa Islam yang disokong dan dikoordinasi oleh
kuffar Yahudi.
4 Shabigh ini suka mempertanyakan ayat-ayat yang mutasyabihah.
5
Qadariyyah adalah kelompok yang sesat dalam memahami taqdir Allah.
Mereka mengatakan bahwa af‘alul ‘ibaad (perbuatan-perbuatan hamba)
terjadi semata-mata karena iradah (kehendak) dan qudrah (kemampuan)
makhluk, tidak ada di dalamnya pengaruh iradah dan qudrah Allah.
(Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 116)
Sehingga
hamba berbuat sekehendak mereka, dengan iradah dan qudrah mereka, dan
bukan karena Allah yang menghendaki mereka untuk berbuat.
6 Ghailan ini berbicara tentang taqdir dengan pemahaman yang sesat. (Asy-Syariah, hal. 970)
7
Inilah yang menimpa setiap pengekor hawa nafsu. Bila mereka yang
memikul kesalahan sedemikian rupa harus menanggung hukuman-hukuman yang
sedemikian berat, maka bagaimana kiranya orang yang keluar dari
mulutnya ucapan-ucapan kufur, penghinaan dan pengolok-olokan terhadap
Allah dan Rasul-Nya serta agama-Nya.
0 comments