“Seorang
yang diminta musyawarahnya adalah orang yang dipercaya.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihul
Jami’ no. 6700. Lihat pula Ash-Shahihah no.1641)
Hadits
ini mengisyaratkan bahwa ahli syura haruslah orang yang amanah karena
tidak mungkin seorang yang tidak amanah akan dipercaya.
Dalam
firman Allah kepada Nabi-Nya (artinya): “Maka bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159). Ibnu Abbas mengatakan:
“Maksudnya dengan Abu Bakr dan ‘Umar.” (Sanadnya shahih diriwayatkan
oleh An-Nahhas dalam An-Nasikh wal Mansukh, dan Al-Hakim dan
dishahihkan oleh beliau dan oleh Adz-Dzahabi. Lihat Madarikun Nazhar,
hal. 289).
Demikianlah
beliau bermusyawarah dengan Abu Bakr dan Umar dalam masalah tawanan
perang Badr dan dalam masalah lainnya. Juga dengan Ali bin Abi Thalib
dalam masalah Ifk-yaitu tuduhan zina kepada ‘Aisyah (Shahih Al-Bukhari
no. 7369) dan juga shahabat yang lain. Yang jelas, Nabi tidak mengajak
musyawarah kepada seluruh para shahabatnya dalam setiap hal. Akan
tetapi memilih mereka yang pantas dalam perkara tersebut.
Ahli
syura Abu Bakr, Maimun bin Mihran mengatakan: ”Bahwa Abu Bakr jika
mendapati sebuah masalah maka beliau melihat kepada Kitabullah. Jika
beliau beliau mendapatkan sesuatu yang memutuskan perkara itu, maka
beliau putuskan dengannya. Dan jika beliau mengetahuinya dari Sunnah
Nabi, maka beliaupun memutuskan dengannya. Bila tidak beliau ketahui,
beliau keluar kepada kaum muslimin dan bertanya kepada mereka tentang
Sunnah Nabi (pada perkara yang tersebut). Dan bila hal itu tidak mampu
(menyelesaikan), maka beliau panggil tokoh-tokoh kaum muslimin dan para
ulama mereka lalu beliau bermusyawarah dengan mereka.” (Ibnu Hajar
mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.”
Lihat Fathul Bari, 13/342)
Ahli
syura ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Para qurra
adalah orang-orang majelisnya ‘Umar dan ahli syuranya, baik yang tua
maupun yang muda.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul Bari,
13/250). Ibnu Hajar mengatakan: “Al-Qurra maksudnya para ulama yang
ahli ibadah.” (Lihat Fathul Bari, 13/258)
Di
antara mereka adalah Abdullah bin Abbas sendiri, sebagaimana beliau
kisahkan: “Umar memasukkan aku bersama orang-orang tua yang pernah ikut
perang Badr, maka seolah-olah sebagian mereka marah dan mengatakan:
‘Mengapa ‘Umar memasukkan pemuda ini bersama kita padahal kita pun
punya anak-anak semacam dia’. Maka ‘Umar mengatakan: ‘Hal itu
berdasarkan apa yang kalian ketahui (yakni bahwa dia dari keluarga Nabi
dan dari sumber ilmu)’.” (HR. Al-Bukhari, 6/28, lihat Bahjatun
Nazhirin, 1/195)
Riwayat
ini menunjukkan bahwa pada majelis syuranya Umar adalah para shahabat
ahli Badr karena mereka lebih utama daripada yang lain. Kemudian ‘Umar
mengikutkan Ibnu ‘Abbas bersama mereka karena ilmu beliau bahkan
melebihi sebagian shahabat ahli Badr karena beliau didoakan oleh Nabi:
“Ya Allah, pahamkan dia tentang agama dan ajari dia takwil.” (Madarikun
Nazhar, hal. 162)
Dalam
kejadian lain, Ibnu Abbas mengatakan: “Ketika itu, saya berada di
tempat singgahnya Abdurrahman bin ‘Auf di Mina dan beliau disisi Umar,
dalam sebuah haji yang merupakan akhir hajinya. Abdurrahman mengarahkan
pertanyaan kepada saya: ‘(Apa pendapatmu) jika kamu melihat seseorang
datang kepada amirul mukminin (Umar bin Al-Khaththab) hari ini lalu ia
mengatakan: ‘Wahai amirul mukminin, apakah anda melakukan sesuatu pada
fulan yang mengatakan: ‘Seandainya Umar telah meninggal maka aku akan
membai’at fulan. Demi Allah, tidaklah bai’atnya Abu Bakr dahulu kecuali
hanya sesaat lalu langsung sempurna.’ Maka (mendengar laporan itu) Umar
marah lalu mengatakan: ‘Sungguh saya insya Allah akan berdiri sore ini
di hadapan manusia dan akan memperingatkan mereka dari orang-orang itu
yang ingin merampas urusan mereka’. Maka Abdurrahman mengatakan:
‘Wahai amirul mukminin jangan kau lakukan! Karena musim haji ini
menampung orang-orang hina (juga), sesungguhnya merekalah yang akan
lebih banyak dekat denganmu disaat kamu berdiri di hadapan mereka. Dan
saya khawatir jika engkau bangkit dan mengucapkan sebuah ucapan lalu
dibawa terbang oleh setiap yang terbang, mereka tidak memahaminya dan
tidak mendudukkan pada tempatnya. Maka tundalah hingga engkau pulang ke
Madinah karena Madinah adalah rumah hijrah dan (rumah) As Sunnah
sehingga engkau dapat mengkhususkan ahli fiqh dan tokoh-tokoh
masyarakat, lalu kamu katakan apa yang mungkin kamu katakan sehingga
ahlul ilmi akan memahami ucapanmu dan menempatkannya pada tempatnya’.”
(Riwayat Al-Bukhari. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 163)
Setelah
terjadinya usaha pembunuhan terhadap Umar dan Umar pun sudah merasa
dekat ajalnya, dia menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada enam
orang shahabat. Dan dikatakan kepada beliau: “Berwasiatlah wahai amirul
mukminin, berwasiatlah! Tunjuklah khalifah.” Jawabnya: “Saya tidak
mendapati orang yang lebih berhak terhadap perkara ini (kekhilafahan)
lebih dari orang-orang itu, yang Rasulullah meninggal dalam keadaan
ridha terhadap mereka.” Lalu beliau menyebut Ali, Utsman, Az-Zubair,
Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman. (Shahih, riwayat Al-Bukhari no. 3700,
dengan Fathul Bari, 7/59). Umar menyerahkan urusan ini hanya kepada 6
orang shahabat yang memiliki sifat tersebut, padahal saat itu para
shahabat berjumlah lebih dari 10 ribu orang. (Madarikun Nazhar, hal.
165)
Al-Bukhari
mengatakan: “Dan para imam setelah Nabi wafat bermusyawarah pada
hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang
paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al-Qur’an maupun As Sunnah,
maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya.
Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari, 13/339-340
dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)
Al-Imam
Asy-Syafi’i mengatakan: “Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi
suatu masalah kecuali dengan orang yang amanah, berilmu dengan Al
Qur’an dan As Sunnah dan riwayat- riwayat dari shahabat dan setelahnya,
serta berilmu tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa
Arab.” (Mukhtashar Al-Muzani, dari Madarikun Nazhar, hal. 176)
Ibnu
At-Tin menukilkan dari Asyhab, seorang murid dari Al-Imam Malik, bahwa
Al-Imam Malik mengatakan: “Semestinya seorang pemimpin menjadikan
seseorang yang menerangkan kepadanya tentang keadaan masyarakatnya
disaat dia sendirian. Dan hendaknya orang tersebut orang yang bisa
dipercaya, amanah, cerdas dan bijaksana.” (Fathul Bari, 13/190)
Sufyan
Ats-Tsauri mengatakan: “Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang yang
bertakwa dan amanah serta orang-orang yang takut kepada Allah.”
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)
Asy-Syihristani
mengatakan: “… Akan tetapi wajib bersama penguasa itu (ada) seorang
yang pantas berijtihad sehingga dia (penguasa itu- red) dapat bertanya
kepadanya dalam permasalahan hukum.” (Al-Milal, 1/160, lihat Madarikun
Nazhar, hal. 177)
Ibnu
Khuwairiz Mandad mengatakan: “Wajib bagi para pemimpin untuk
bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui
dan pada perkara agama yang membuat mereka bingung. Juga bermusyawarah
dengan para pemimpin perang pada urusan peperangan, dengan tokoh
masyarakat pada urusan yang berkaitan dengan maslahat masyarakat, dan
dengan para menteri dan wakil-wakilnya pada perkara kemaslahatan negeri
dan kemakmurannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)
Al-Qurthubi
mengatakan: “Para ulama berkata: ‘Kriteria orang yang diajak
musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan agamis.
Dan jarang yang seperti itu kecuali orang- orang yang berakal. Oleh
karenanya Al-Hasan mengatakan: ‘Tidaklah akan sempurna agama seseorang
kecuali setelah orang yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut
kepada Allah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)
Al-Mawardi
mengatakan ketika menjelaskan orang-orang yang berhak bermusyawarah
untuk memilih imam/pemimpin: “…Syarat-syarat yang harus ada pada mereka
ada tiga: pertama; keadilan (yakni keshalihan agamanya) dengan
berbagai syaratnya. Kedua; ilmu yang dengannya dia dapat mengetahui
siapa yang berhak menjadi pemimpin dengan syarat-syarat kepemimpinan.
Ketiga; ide yang bagus dan bijak yang dengan itu dia bisa memilih yang
paling pantas untuk menjadi pimpinan.” (Al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal.4)
Dari
penjelasan para ulama, kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa ahli
syura adalah para ulama yang benar-benar berilmu tentang Al Qur’an dan
Sunnah Nabi serta pendapat-pendapat para ulama dalam berbagai
masalah, bertakwa, dan takut kepada Allah, juga memiliki sifat amanah,
bijaksana dalam memutuskan suatu urusan, demikian pula memiliki
keinginan baik untuk umat secara menyeluruh dan dari kalangan laki-laki
bukan wanita.
Jika
dibutuhkan musyawarah pada urusan-urasan duniawi maka juga bisa
melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam bidang-bidang tertentu
namun tentu tidak lepas dari sifat-sifat dasar diatas. Demikian pula
tidak bisa dilepaskan dari para ulama karena merekalah yang dapat
mempertimbangkan sisi mashlahat dan mafsadah yang hakiki dan secara
syar’i serta sisi halal dan haramnya.
Apakah Ahli Bid’ah Boleh Menjadi Ahli Syura?
Dengan
mengetahui sifat-sifat ahli syura, tampak bahwa ahli bid’ah tidak bisa
dijadikan sebagai ahli syura karena ahli bid’ah tidak dapat dipercaya
agamanya, amanahnya, keinginan baiknya dan juga sifat yang lain tidak
terpenuhi padanya. Demikian pula terjadi dalam sejarah beberapa
peristiwa yang membuktikannya. Pada masa khilafah ‘Abbasiyyah, tepatnya
pada pemerintahan Al-Makmun, yang menjadikan Bisyr Al-Marrisi (seorang
tokoh Mu’tazilah) sebagai salah satu penasehatnya, mengakibatkan
tersebarnya aqidah Mu’tazilah tentang Al Qur’an yaitu bahwa Al Qur’an
bukan Kalamullah sehingga sebagian ulama terbunuh karena itu (tidak mau
mengatakan Al Qur’an bukan Kalamullah -red) dan sebagian lagi dipenjara
dan disiksa. Demikian pula pada masa Al-Mu’tashim Billah yang
menjadikan Al-Wazir Ibnul ‘Alqomi (seorang Syi’ah yang menipu Khalifah)
sebagai salah satu penasehatnya, sehingga dia membantu pasukan Tatar
memasuki kota Baghdad dan menguasainya. Itu sebagian contoh, dan semua
ahlul bid’ah pada dasarnya sama, baik yang berpemikiran mengkafirkan
yang tidak sepaham dengan mereka, atau berpemikiran Sufi, atau yang
lain.
Wallahu a’lam.
0 comments