Anak-anak, di manapun mereka berada, memiliki daya imajinasi dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Adalah tugas orang dewasa, termasuk orangtua, untuk memfasilitasi anak mengasah potensi dirinya. Potensi anak memiliki arti jika mereka juga diberi kesempatan menunjukkan kemampuan diri.
Jika anak menyukai dan memiliki kebiasaan menulis, tugas orang dewasa adalah mendorong kegemaran tersebut dengan memfasilitasinya. Begitupun jika anak berpotensi menulis puisi, cerita sehari-hari dalam buku harian, pengalaman unik, menulis lirik lagu, hingga memotret obyek yang menarik, semakin berkembang dan terasah jika terfasilitasi dengan baik.
Bagi masyarakat perkotaan, tak sulit mendapatkan fasilitas yang mendukung kegiatan anak dalam menulis atau memotret. Ponsel pintar, laptop, tablet, kamera digital saku hingga semi-profesional mudah saja diberikan kepada anak sebagai hadiah kenaikan kelas. Bahkan kini, semakin banyak siswa SMP-SMA meminati ekskul fotografi.
"Fotografi sudah digemari anak dan remaja sejak awal 2000-an. Workshop fotografi untuk anak dan komunitas fotografi untuk anak-anak usia SMA juga sudah lama hadir. Saat ini semakin banyak anak yang menggemari fotografi, apalagi di era Facebook. Anak-anak merasa memiliki wadah untuk memamerkan hasil karya mereka melalui Facebook. Rasa ingin tahu anak dan ketertarikan mereka terhadap fotografi juga tinggi," kata Roy Rubianto, fotografer lepas di sejumlah media asing, kepada Kompas Female, seusai pelatihan menulis dan fotografi yang diadakan oleh Plan Indonesia di Lembata, Nusa Tenggara Timur, 16-17 April 2011 lalu.
Anak daerah, dengan tingkat penghasilan orangtua yang rendah, sebenarnya juga punya minat dan kemampuan yang sama. Namun, mereka tak selalu bisa menikmati berbagai fasilitas ini karena tak memiliki fasilitas lengkap seperti anak kota.
"Anak-anak peserta pelatihan menulis dan fotografi di Lembata memiliki semangat luar biasa. Mereka kritis, banyak bertanya, mau belajar, dan memiliki potensi dan kemampuan yang baik dalam mencari sudut pandang menarik," jelas Roy.
Sebanyak 20 anak yang tergabung dalam Forum Anak Lembata (Forkal) binaan Plan Indonesia, antusias mengikuti pelatihan menulis dan fotografi. Anak nelayan dan petani di Lembata ini berasal dari enam kecamatan di kabupaten Lembata, provinsi Nusa Tenggara Timur. Sejumlah anak tinggal tak jauh dari lokasi pelatihan di Lewoleba, ibu kota kabupaten Lembata. Namun tak sedikit anak yang harus menempuh perjalanan lebih dari dua jam dari desanya ke lokasi pelatihan.
Wilson Lanang dari Lamalera, harus menempuh tiga jam perjalanan untuk mengikuti kegiatan pembinaan ini. Mei dari Lebatukan juga harus menempuh perjalanan panjang menuju lokasi pelatihan.
Belasan anak lainnya dari kecamatan Omesuri, Buyasari, Nagawutung, Ile Ape, Wulandoni, dan Nubatuban, tak terbatasi dengan jarak dan waktu untuk mengasah kemampuan menulis dan mengambil gambar. Meski perjalanan menyisir pantai dan melewati sejumlah kampung terasa panjang, namun tetap menyenangkan bagi mereka. Pasalnya sepanjang jalan terhampar potensi alam dan laut Lembata yang memanjakan mata. Potensi alam serta tradisi budaya di Lembata inilah yang diharapkan bisa menjadi bahan cerita menarik untuk dituliskan atau difoto oleh anak-anak Lembata.
"Anak-anak bisa menceritakan tentang banyak hal melalui tulisan, karena dengan menulis, akan semakin banyak orang yang mengetahui mengenai berbagai hal menarik dan unik dari berbagai daerah di Lembata. Tulisan akan lebih bertahan lama dibandingkan sekadar bercerita. Berceritalah, namun wujudkan cerita dalam bentuk tulisan atau foto," kata Muhammad Thamrin, Program Unit Manager Plan Indonesia Lembata, saat membuka kegiatan di Hotel Palm Indah, Lewoleba, Lembata, NTT, Sabtu (16/4/2011) lalu.
Karakter khas anak pesisir yang cerdas dan pantang menyerah menonjol dalam diri 20 anak yang mengikuti pelatihan ini. Selama dua hari pelatihan, semangat mereka tak ada habisnya. Setiap kali diminta tampil di depan forum, mereka pun tak sungkan. Bahkan hingga acara berakhir, kebersamaan anak daerah ini kental terasa. Mereka tak ada habisnya menyanyikan lagu khas Timor, menandakan sudah waktunya berpisah dan berkarya di daerah masing-masing.
Anak-anak ini tak memiliki fasilitas lengkap layaknya rekan sebaya mereka di kawasan perkotaan, namun bicara potensi dan semangat, mereka punya kekuatan berbeda. Satu harapan dihaturkan Emanuel dari Lewoleba.
"Saya suka dan sering menulis. Saya senang bisa mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan
menulis dan jurnalistik. Namun kami juga membutuhkan kesempatan agar tulisan kami dimuat agar bisa dibaca oleh banyak orang," ungkap laki-laki muda yang terpilih sebagai peserta terinspiratif, mendampingi Asriani B Gani dari Nubatukan. Fasilitator pelatihan menulis dan jurnalistik memberi penghargaan kepada dua anak mudah ini karena kegigihan, ketelitian, kejelian, serta keingintahuan yang tinggi sepanjang pelatihan.
Emanuel dan Asriani punya potensi. Namun potensi saja tak cukup tanpa adanya kesempatan menunjukkan kebolehan diri. Seperti Emanuel yang bermimpi tumpukan tulisan yang dikumpulkannya sejak 2005 bisa dilirik dan dipublikasikan di media nasional. Suatu waktu nanti, harapnya.
Kompas.com
Terima kasih atas kunjungan anda.
0 comments