Pada beberapa sisi budaya tradisional ternyata masih mempunyai daya pikat tersendiri bagi masyarakat modern saat ini. Pesona mereka mampu menembus batasan waktu tak terbatas.
Sebuah budaya tradisional yang tetap dipertahankan keberadaannya tak sekadar berfungsi sebagai simbol. Ya, layaknya romansa untuk mengingat keindahan masa lalu. Tetapi lebih dari itu dia merupakan representasi dari sebuah identitas. Seperti halnya kerapan sapi suatu kultur yang dianggap sebagai penjelmaan dari karakter masyarakat Madura yang tegas, sangat menjunjung harga diri dan jantan.
Kerapan sapi sendiri mulai hadir di tengah kehidupan masyarakat Madura, sejak awal abad ke XV tepatnya di masa pemerintahan Raja Jokotole, yaitu sekitar tahun 1415 – 1480.
Pada masa itu, masyarakat Madura dikenal gemar melakukan kegiatan olahraga tradisional seperti: Okol (gulat) dan Ojung (perang tanding). Termasuk kerapan sapi. Dalam perjalanannya kerapan sapi kemudian berkembang menjadi olahraga yang paling digemari masyarakat Madura.
Dalam realita sosial, kerapan sapi dianggap mampu mengguratkan nilai-nilai tersendiri. Karena bagi masyarakat Madura kerapan sapi dianggap bisa mengangkat martabat sekaligus tingkatan kasta mereka.
Sejatinya selain menjadi tradisi, kerapan sapi sesungguhnya adalah sebuah perayaan untuk mengungkapkan kesuksesan panen tembakau.
Saat ini olahraga yang dianggap sebagai simbol dari seorang laki-laki telah dikenal luas di luar masyarakat Madura bahkan hingga ke negeri manca.
Bahkan kerapan sapi kini telah menjadi sebuah agenda wisata tahunan yang digelar tiap bulan Oktober minggu ke dua setiap tahunnya dengan memperebutkan piala presiden. Lokasi yang dipilih adalah Stadion R. Soenarto Hadiwidjojo, di Kabupaten Pamekasan.
Dalam pergelaran kerapan sapi, sebelum acara dimulai, biasanya akan didahului dengan semacam upacara pembukaan. Pasangan-pasangan sapi akan diarak mengelilingi arena pacuan sembari diiringi gamelan asli Madura (saronen) dan tari pecut. Setelah ritual tersebut selesai baru acara puncak digelar.
Dalam perlombaannya sendiri, sepasang sapi yang telah dipilih dan dijadikan “pembalap” akan menarik sebuah kereta dari kayu sebagai tempat joki berdiri dan mengendalikan sapi-sapi tersebut. Sapi dan joki tersebut akan berlomba memacu adrenalin mereka di areal pacuan yang memiliki luas sekitar 100 meter.
Lomba biasanya bisa berlangsung selama sepuluh sampai lima belas detik.Untuk meraih kemenangan dibutuhkan sepasang sapi yang kuat dan seorang joki yang andal. Kedua elemen ini merupakan faktor penting yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Selain kerapan sapi lomba lain yang melibatkan kemampuan hewan adalah lomba burung dara. Menurut sejarahnya permainan ini juga berasal dari Madura, meski hal tersebut belum bisa dipastikan seratus persen kebenarannya. Dalam tradisinya, lomba burung dara terbagi atas dua macam, yaitu: "sistem lemahan" dan "sistem tanganan". Masing-masing sistem ini mempunyai ciri khas sekaligus tata cara tersendiri.
Untuk sistem tanganan misalnya, dara betina yang dijadikan sebagai “umpan” dipegang oleh seorang penggeber atau joki. Sedangkan dara jantan diterbangkan dari jarak yang cukup jauh sekitar 100 m untuk menghampiri burung dara jantan yang dipegang oleh penggeber.
Dalam sebuah perlombaan burung yang dinyatakan sebagai pemenang adalah burung yang lebih cepat sampai di tangan penggeber. Sedangkan untuk sistem lemahan, prosesnya hampir sama dengan sistem tanganan. Hanya saja, dara betina diletakkan di tanah dan dibatasai lingkaran. Dan dara jantan menghampiri burung dara betina tersebut sekaligus masuk ke dalam lingkaran.
Dalam menjaga kekompakan antara burung dara jantan dan betina dibutuhkan latihan tersendiri. Penggeber harus memberikan “pelajaran” secara intensif, bahkan sejak burung dara yang dipilih tengah mengerami telurnya. Pada saat burung ngeram sesungguhnya itu adalah waktu yang tepat bagi burung untuk digiring (dilatih untuk saling membutuhkan atau mendekat).
Selama proses pelatihan tersebut telur yang dierami harus dibuang. Lantas kedua pasang burung dara itu dibersihkan dengan air lalu dijemur dalam satu kurungan yang bertingkat dengan posisi atas bawah selama 5 hari. Selepas proses tersebut keduanya akan menjadi sepasang “romeo dan juliet”. Karena, setiap terpisah dari sang dara, sang jantan akan mencari atau menghampiri dara betina.
Namun ada hal yang perlu diperhatikan lagi, dalam proses latihan, penggeber harus selalu memakai baju dengan warna yang sama. Hal ini dimaksudkan agar burung terbiasa mengenal satu warna. Dengan demikian burung akan lebih mudah mengenali penggebernya.
Meski burung sudah akrab dengan penggebernya, dia biasanya akan sulit mengenali “majikannya” tersebut saat penggeber memakai baju dengan warna lain. Saat ini tradisi kerapan sapi dan lomba burung dara masih eksis terjaga kelestariannya. Mereka terus berdiri mempertahankan identitas lokal di tengah derasnya intervensi budaya asing yang datang silih berganti.
Foto by: Darwis Triadi
Terima kasih atas kunjungan anda.
0 comments