Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiry dalam Belajar Sains terhadap Motivasi Belajar Siswa
Oleh: Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.
Abstract
Inquiry-Based
Learning is a common method in teaching science that often associated
with the active nature of student involvement, investigation and the
scientific method, critical thinking, hands-on learning, and
experiential learning. It will be studied in this paper whether or not
the method of inquiry-based learning influences the student motivation
to learn. Using some theories of motivation, it was found that inquiry
method positively influences the learning motivation of students. This
positive influence occurs when the learning through inquiry method is
conducted in appropriated conditions, for example the questions that
teachers provide have to produce arousal and student curiosity.
I. Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Salah
satu hal yang sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa di
sekolah adalah motivasi belajar. Motivasi belajar yang tinggi
berkorelasi dengan hasil belajar yang baik, sehingga berbagai upaya
dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa di sekolah ini. Jika
motivasi belajar siswa dapat ditingkatkan, maka dapat diharapkan bahwa
prestasi belajar siswa juga akan meningkat.
Strategi
meningkatkan motivasi belajar siswa sering menjadi masalah tersendiri
bagi para guru karena terdapat banyak faktor – baik internal maupun
eksternal – yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Guru menerapkan
prinsip-prinsip motivasi belajar siswa dalam desain pembelajaran, yaitu
ketika memilih strategi dan metode pembelajaran. Pemilihan strategi dan
metode tertentu ini akan berpengaruh pada motivasi belajar siswa.
Upaya
meningkatkan motivasi belajar inilah yang menarik untuk dikaji lebih
jauh, sehingga dalam paper ini akan dilakukan studi mengenai pengaruh
metode pembelajaran inquiry dalam belajar Sains di sekolah terhadap
motivasi belajar siswa itu sendiri. Dalam lingkup yang lebih umum,
meningkatnya motivasi belajar siswa juga akan mengoptimalkan pelaksanaan
pembelajaran di dalam kelas. Penyelesaian masalah yang akan dikaji
dalam paper ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi guru untuk memilih strategi dan metode pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Sebagai catatan, penyebutan metode inquiry dalam
keseluruhan paper ini mengacu kepada metode inquiry dalam pembelajaran
bidang Sains.
Perumusan Masalah
Dalam
paper ini, masalah utama yang dicoba dipecahkan adalah apakah terdapat
pengaruh metode belajar inquiry dalam belajar Sains di sekolah terhadap
motivasi belajar siswa?
II. Deskripsi Teoretik
A. Metode Belajar Inquiry
Salah
satu metode pembelajaran dalam bidang Sains, yang sampai sekarang masih
tetap dianggap sebagai metode yang cukup efektif adalah metode inquiry.
David L. Haury dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry
(1993) mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: inquiry
merupakan tingkah laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk
menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin
tahu. Dengan kata lain, inquiry berkaitan dengan aktivitas dan
keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman
untuk memuaskan rasa ingin tahu (Haury, 1993).
Alasan
rasional penggunaan metode inquiry adalah bahwa siswa akan mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai Sains dan akan lebih tertarik
terhadap Sains jika mereka dilibatkan secara aktif dalam “melakukan”
Sains. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakan tulang punggung
metode inquiry. Investigasi ini difokuskan untuk memahami konsep-konsep
Sains dan meningkatkan keterampilan proses berpikir ilmiah siswa.
Diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses berfikir
ilmiah tersebut (Blosser, 1990).
Metode
inquiry yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa terbukti dapat
meningkatkan prestasi belajar dan sikap anak terhadap Sains dan
Matematika (Haury, 1993). Dalam makalahnya Haury menyatakan bahwa metode
inquiry membantu perkembangan antara lain scientific literacy dan
pemahaman proses-proses ilmiah, pengetahuan vocabulary dan pemahaman
konsep, berpikir kritis, dan bersikap positif. Dapat disebutkan bahwa
metode inquiry tidak saja meningkatkan pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep dalam Sains saja, melainkan juga membentuk sikap
keilmiahan dalam diri siswa.
Metode
inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan
dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses
pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan
kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan
sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan
metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru
adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk
dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan
dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber
belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan
pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan
siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Walaupun
dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam,
tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan
bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum
yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction,
Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton, 2005).
Question.
Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang
memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu
fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan
sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh siswa.
Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang
harus dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab pertanyaan ini – sesuai
dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah
seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti
tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus
dibuat atau dikonstruksi.
Student
Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan
suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa
bukan secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau
menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku, melainkan dituntut
terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman
siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah
investigasi.
Cooperative
Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan
atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini,
siswa bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan
guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua jawaban
benar.
Performance
Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk
membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai
permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa
slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui
produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety
of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar,
misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan
ahli, dan lain sebagainya.
B. Teori – teori Motivasi
Motivasi
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan
energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya.
Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil.
Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang motivasi.
Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali
dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah
aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai
(value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner,
1984).
Dengan
pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat
mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi
untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas
belajar siswa.
Secara
umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan
sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic,
humanistic, social learning, dan social cognition.
1. Teori-teori Behavioral
Robert
M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal
Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan
hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja (performance).
Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan
tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan
menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan
terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes &
Dodson, 1908).
Pada
tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang
menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin
bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu
kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan
(drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga
meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon
berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull,
dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja
bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai
(Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk
persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai
penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena
hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika
drive = 0, makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit
yang diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada
periode 1935 – 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang
dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa
perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut
Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu
tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor:
tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek
tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e).
Force = f(t, G)/e
Dalam
persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan
besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan
tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang
pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau
mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension
yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak
psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).
2. Teori-teori Cognitive
Pada
tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang
menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua
tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan bereaksi
untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal
ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah
tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang
kemudian mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh
perilakunya (Huitt, 2001).
Teori
kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution
Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967,
1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa
setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri
sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut
tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan
terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram
berikut.
Internal
Eksternal
Tidak terkontrol
Kemampuan (ability)
Keberuntungan (luck)
Terkontrol
Usaha (effort)
Tingkat kesulitan tugas
Dalam
sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan
atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki atribut
kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa mengalami
kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang
melemah (Huitt, 2001).
Pada
tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang secara matematis
dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang sukses
(expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) ×
Nilai dari tujuan (Value)
Karena
dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel,
maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh
karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya terdapat
motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia
dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan
antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan
belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan
terlibat dalam aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah
satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah
Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud
(1856 – 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku
merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri
dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Erik
Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud,
menyatakan dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial
Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan
pribadi adalah interaksi sosial (Huitt, 1997).
4. Teori-teori Humanistic
Teori
yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah Theory of
Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow
mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs
meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa
aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan
penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah
harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya.
Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan
aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow,
manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika
deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow merupakan
cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia dan
kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).
Teori
Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba
mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor
yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of
Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan
Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan
sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan
punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang,
kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal
Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept
yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social
Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh
perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada
sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan,
atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama
dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement
dan pendekatan cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan
fungsi dari expectation dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement
merujuk pada tingkat preferensi terhadap reinforcement tertentu
(Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh
dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui berbagai
eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak
diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui
proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Bandura
menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan
pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention,
memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah
dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara
meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan memberikan
konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi
(reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).
C. Teori Curiosity Berlyne
Pada
tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity atau
rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita
mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks.
Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat
kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang
disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan
mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi
ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam
pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen
yang memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan
konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk
mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda dengan apa yang
dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang diciptakan
oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi
untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan
motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki banyak peran
dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis, dan orang-orang
yang kreatif.
Salah
satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry
teaching. Dalam metode ini, siswa lebih banyak ditanya daripada
diberikan jawaban. Dengan mengajukan pertanyaan, bukan hanya
pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa
mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut
(Gagne, 1985).
D. Hipotesis
Berdasarkan
paparan teori-teori di atas, dapat diambil suatu hipotesis bahwa
terdapat kaitan yang erat antara peningkatan motivasi belajar siswa
terhadap penerapan metode inquiry dalam pembelajaran Sains.
III. Diskusi
Seperti
yang telah diteliti oleh Haury (Haury, 1993), salah satu manfaat yang
dapat diperoleh dari metode inquiry adalah munculnya sikap keilmiahan
siswa, misalnya sikap objektif, rasa ingin tahu yang tinggi, dan
berpikir kritis, Jika metode inquiry dapat mempengaruhi sikap keilmiahan
siswa, maka muncul pertanyaan apakah metode ini juga dapat mempengaruhi
motivasi belajar dalam diri siswa? Sesuai dengan teori curiosity
Berlyne, rasa ingin tahu yang dimiliki siswa akan memberikan motivasi
bagi siswa tersebut untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang dihadapinya; yang tidak lain adalah motivasi untuk belajar. Dengan
sikap keilmiahan yang baik, konsep-konsep dalam Sains lebih mudah
dipahami oleh siswa. Begitu juga, dengan motivasi belajar yang tinggi,
kegiatan pembelajaran Sains juga menjadi lebih mudah mencapai tujuannya,
yaitu pemahaman konsep-konsep Sains. Jadi, tampaknya ada hubungan yang
kuat antara motivasi belajar dengan sikap keilmiahan yang terbentuk
sebagai akibat dari penerapan metode inquiry.
Rasa
ingin tahu yang tinggi dapat dikaitkan dengan teori Maslow, yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang salah satunya kebutuhan
untuk mengetahui dan kebutuhan untuk memahami. Oleh karena itu, metode
inquiry yang biasa diterapkan dalam pembelajaran Sains secara tidak
langsung sebenarnya mencoba memenuhi salah satu kebutuhan manusia
tersebut.
Seperti
yang telah diuraikan dalam deskripsi teoretik di depan, komponen
pertama dalam metode inquiry adalah question atau pertanyaan. Dalam
pandangan teori-teori motivasi behavioral, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan guru dapat diartikan sebagai rangsangan (arousal) atau dorongan
(drive). Adanya rangsangan dan dorongan ini menyebabkan siswa
termotivasi untuk meresponnya melalui kegiatan ilmiah, yaitu mencari
jawaban dari pertanyaan. Kegiatan ilmiah yang dilakukan, sesuai teori
Hull tidak lain adalah upaya untuk mengurangi dorongan atau drive.
Yang
perlu diperhatikan dalam memberikan pertanyaan kepada siswa adalah
bahwa ada rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu sesuai
dengan Optimal Arousal Theory. Sebab, jika rangsangan yang diberikan
terlalu tinggi, maka motivasi siswa justru dapat turun kembali. Harus
juga dipertimbangkan apa yang oleh Field Theory disebut sebagai jarak
psikologis ke suatu tujuan; dalam memberikan pertanyaan, sebaiknya
“jarak” antara pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa dengan jawaban
yang diharapkan tidak terlalu jauh, supaya motivasi untuk menjawab
pertanyaan tersebut besar karena jarak psikologis tersebut berbanding
terbalik dengan motivasi.
Dalam
pandangan teori-teori motivasi Cognitive, memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam pembelajaran Sains dengan
metode inquiry sama artinya dengan menciptakan ketidakcocokan (konflik)
antara apa yang dipikirkan oleh siswa dengan apa yang seharusnya menjadi
jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cognitive Dissonance Theory
menyiratkan bahwa jika guru dapat menciptakan konflik-konflik tersebut,
maka siswa akan berusaha (termotivasi) untuk mengubah perilakunya, yang
kemudian mengubah pola pikirnya.
Sementara
menurut Expectation Theory, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa
ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan
antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan
belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan
terlibat dan termotivasi dalam aktivitas belajar. Oleh karena itu, jika
metode inquiry diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa,
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru kepada siswa memiliki
batasan-batasan tertentu, misalnya siswa harus merasa dapat menjawab
pertanyaan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan
yang disyaratkan dalam metode pembelajaran Inquiry, yang oleh Garton
disebut sebagai pertanyaan essential, antara lain harus memenuhi
ciri-ciri sebagai berikut (Garton, 2005).
dapat ditanyakan berulang-ulang
menunjukkan kepada siswa hubungan antara beberapa konsep dalam sebuah subjek
muncul
dari usaha untuk belajar lebih jauh mengenai kehidupan, berupa
pertanyaan umum dan membuka pertanyaan-pertanyaan lebih jauh
menuntun pada konsep utama subjek tertentu, untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita mengetahuinya atau mengapa
memberikan stimulus dan menumbuhkan minat untuk menyelidiki; melibatkan siswa dan menimbulkan curiosity
melibatkan level berpikir yang lebih tinggi
tidak dapat langsung dijawab
tidak dapat dijawab hanya dengan satu kalimat
Contoh pertanyaan essential antara lain:
“Apa yang menyebabkan sebuah zat disebut zat padat, zat cair, atau gas?”
“Darimana datangnya ayam dan bagaimana cara kerja telur ayam sehingga bisa menjadi ayam?”
“Mengapa bentuk bulan berubah-ubah?”
Dalam
proses pembelajaran, guru dan siswa bersama-sama mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan lain, yang oleh Garton disebut pertanyaan unit,
untuk menjawab pertanyaan essential. Ciri pertanyaan unit antara lain:
menanyakan konsep-konsep apa saja yang terdapat dalam subjek pertanyaan essential
membantu siswa menjawab pertanyaan essential secara lebih spesifik
Contoh pertanyaan unit antara lain:
Apa saja contoh zat padat, zat cair, dan gas?
Apakah ciri-ciri zat padat, zat cair, dan gas?
Komponen
kedua dan ketiga dalam metode inquiry adalah student engangement
(keterlibatan) dan cooperative interaction (interaksi kerjasama). Kedua
hal ini akan dibahas bersamaan karena memiliki kedekatan. Keterlibatan
siswa dan interaksi kerjasama dapat ditinjau berdasarkan teori-teori
motivasi Psychoanalitic, Humanistic, dan Social Cognition.
Dalam
pandangan Theory of Socioemotional Development, yang paling mendorong
atau memotivasi perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah
interaksi sosial. Dalam pembelajaran dengan metode inquiry, ketika siswa
merasa dilibatkan oleh guru (lingkungan) dalam proses menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan melakukan interaksi dengan sesama siswa
melalui kerja kelompok, maka perilaku dan kepribadiannya berubah ke arah
yang lebih baik, yaitu ikut aktif terlibat dalam kegiatan dan mau
bekerjasama. Supaya keterlibatan dan kerjasamanya dapat diterima oleh
lingkungan, maka ia harus menyiapkan diri sebaik mungkin, misalnya
dengan membaca banyak buku teks. Artinya, motivasi belajar siswa
meningkat.
Dalam
pandangan teori Maslow, manusia memiliki kebutuhan akan penghargaan dan
aktualisasi diri. Kesempatan siswa untuk terlibat dan bekerjasama dalam
sebuah pembelajaran dengan metode inquiry dapat dikatakan sebagai
kesempatan untuk memenuhi dua kebutuhan – penghargaan dan aktualisasi
diri – tersebut. Dengan demikian, metode inquiry memberikan ruang bagi
siswa untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga siswa pun akan memiliki
motivasi yang tinggi, tentu saja motivasi dalam belajar.
Keterlibatan
dan interaksi kerjasama dalam pembelajaran Sains dengan metode inquiry
juga dapat ditinjau berdasarkan teori Social Cognition, yang menyatakan
bahwa proses pembelajaran dapat terjadi antara lain melalui attention
dan motivation. Attention, artinya siswa memperhatikan lingkungan
melalui keterlibatannya. Motivation, artinya lingkungan memberikan
konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku. Contoh konsekuensi
adalah dianggap tidak aktif terlibat dan tidak dapat bekerjasama. Untuk
menghindari konsekuensi ini, siswa termotivasi untuk belajar sehingga
konsekuensi yang diperoleh adalah konsekuensi yang positif.
Komponen
keempat dalam metode inquiry adalah performance evaluation. Performance
evaluation dapat ditinjau dari Expectation Theory yang menyatakan bahwa
motivasi merupakan fungsi dari expectation, reward, dan nilai. Dalam
performance evaluation, siswa akan berusaha sebaik-baiknya dengan
expectancy mendapatkan reward (misalnya nilai yang baik). Dengan
demikian, sesuai teori ini motivasi siswa akan meningkat karena metode
inquiri mengandung performance evaluation. Hal sebaliknya dapat
dinyatakan bahwa motivasi siswa akan rendah dalam suatu pembelajaran
yang tidak memasukkan unsur performance evaluation di dalamnya.
Mirip
dengan Expectation Theory, Social Learning Theory juga menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang adalah expectation dan
nilai reinforcement. Dengan demikian, melalui performance evaluation ini
motivasi siswa akan meningkat karena expectation siswa yang tinggi.
Berdasarkan
teori Maslow, dalam performance evaluation siswa diberi kesempatan
untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi
diri. Artinya, adanya kesempatan ini menyebabkan motivasi siswa
meningkat agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Komponen
kelima dalam metode inquiry adalah Variety of Resources. Komponen ini
dapat dikaitkan dengan teory Curiosity Berlyne yang menyimpulkan bahwa
curiosity meningkatkan motivasi belajar siswa. Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan guru menimpulkan ketidakpastian atau konflik konseptual
dalam diri siswa. Konflik konseptual ini akan menimbulkan rasa ingin
tahu yang besar dalam diri siswa. Untuk menjawab rasa ingin tahunya,
siswa harus memiliki banyak pengetahuan, yang dapat diperoleh dari
berbagai macam sumber belajar. Artinya, dalam metode inquiry sebenarnya
guru menciptakan curiosity siswa, yang meningkatkan motivasi belajarnya,
dan guru kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk memuaskan
rasa ingin tahunya tersebut melalui berbagai macam sumber belajar. Tentu
saja, peranan guru sangat penting dalam memilihkan sumber belajar yang
tepat agar siswa tidak terlalu lama dalam keadaan “belum menemukan
jawaban”, karena hal ini dapat menurunkan kembali motivasinya.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan
penjabaran kelima komponen dalam metode inquiry di atas ditinjau dari
berbagai teori tentang motivasi dan curiosity terlihat bahwa metode
inquiry memberikan kesempatan meningkatnya motivasi belajar siswa.
Memberikan kesempatan dapat diartikan sebagai suatu ketidakpastian,
masih terdapat batasan-batasan. Misalnya, jika pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepada siswa terlalu sulit (jarak psikologisnya jauh),
tidak memberikan rangsangan dan curiosity yang tinggi, maka peningkatan
motivasi belajar juga sulit diharapkan. Namun secara umum dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dari metode inquiry terhadap
motivasi belajar siswa.
V. Referensi
Atkinson,
Rita., Atkinson, Richard, C., & Hilgard, Ernest, R., 1983.
Introduction to Psychology, 8th Ed. Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Berliner,
David, C. & Calfee, Robert.C.(Editor), 1996. Handbook of
Educational Psychology. New York, Simon & Schuster Macmillan.
Blosser,
Patricia E. & Helgenson, Stanley L. (1990). Selecting Procedures
for Improving the Science Curriculum. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse
for Science, Mathematics, and Environment Education. (ED325303)
Budiningsih, Asri, C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.
Gage, N.L. & Berliner, David, C. (1984). Educational Psychology 3rd Ed. Boston, Houghton Mifflin Company.
Gagne, Ellen, D., 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Little, Brown and Company
Garton, Janetta., 2005. Inquiry-Based Learning. Willard R-II School District, Technology Integration Academy.
Haury,
L. David. (1993). Teaching Science Through Inquiry. Columbus, OH: ERIC
Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environment Education.
(ED359048)
Huitt, W. (1997). Socioemotional development. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University
____.
(2004). Observational (social) learning: An overview. Educational
Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University.
____. 2001. Motivation to Learn: An Overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta, Valdosta State University
Leonard,
Nancy, H., Beauvais, Laura Lynn., & Scholl Richard, W., 1995. “A
Self Concept-Based Model of Work Motivation”. In The Annual Meeting of
the Academy of Management (URL: http://chiron.valdosta.edu/wh…).
Sagala, Syaiful., 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung, Penerbit Alfabeta.
Wortman, Camille., Loftus, Elizabeth. & Weaver, Charles., 2004. Psychology, 5th Ed. Boston, McGraw-Hill.
Yerkes,
R.M. & Dodson, J.D. (1908) The Relation of Strength of Stimulus to
Rapidity of Habit-Formation. Journal of Comparative Neurology and
Psychology, 18.
0 comments