Efek
buruk mengenai keberadaan teknologi 3 dimensi (3D) terus dikemukan
oleh para ilmuwan. Pasalnya dibalik kecanggihannya, gambar 3D
dikabarkan mampu menimbulkan penyakit yang membahayakan.
Para peneliti dari Eidhoven University, Belanda menyimpulkan bahwa televisi 3D bisa mengacaukan fungsi kerja otak sehingga menimbulkan ketegangan pada mata, sakit kepala, dan mual.
Penelitian ini sendiri didasarkan pada survei yang dilakukan oleh 39 orang relawan. Mereka diminta membaca teks di layar TV berformat 3D dengan jarak 10 meter. Tujuh orang di antaranya merasakan mual saat membaca. Demikian juga dari segi penglihatan, terjadi penglihatan ganda dan ketegangan mata.
Dilansir melalui DailyMail, Selasa (21/12/2010), dalam riset yang dilakukan, para relawan ini diminta menonton televisi dengan dua cara. Caranya relawan harus menonton televisi 3D yang disebut aktif, dan televisi non-3D yang disebut pasif.
Penonton aktif harus memakai kacamata khusus yang di dalamnya terdapat baterai kecil. Hasilnya terjadi sinkronisasi tampilan gambar TV yang dikoneksikan melalui nirkabel. Otak penonton pun ditipu. Hasilnya gambar 3D pun sesuai dengan alam pikiran penonton.
Sementara penonton televisi pasif bergantung pada polarisasi khusus filter di TV untuk membagi gambar ke komponen mata kiri dan mata kanan.
Untuk itulah ilmuwan menyarankan agar anak-anak di bawah usia 8 tahun tidak terlalu sering menggunakan kacamata 3D saat menonton televisi. Pasalnya otot mata anak-anak masih dalam tahap perkembangan.
Para peneliti dari Eidhoven University, Belanda menyimpulkan bahwa televisi 3D bisa mengacaukan fungsi kerja otak sehingga menimbulkan ketegangan pada mata, sakit kepala, dan mual.
Penelitian ini sendiri didasarkan pada survei yang dilakukan oleh 39 orang relawan. Mereka diminta membaca teks di layar TV berformat 3D dengan jarak 10 meter. Tujuh orang di antaranya merasakan mual saat membaca. Demikian juga dari segi penglihatan, terjadi penglihatan ganda dan ketegangan mata.
Dilansir melalui DailyMail, Selasa (21/12/2010), dalam riset yang dilakukan, para relawan ini diminta menonton televisi dengan dua cara. Caranya relawan harus menonton televisi 3D yang disebut aktif, dan televisi non-3D yang disebut pasif.
Penonton aktif harus memakai kacamata khusus yang di dalamnya terdapat baterai kecil. Hasilnya terjadi sinkronisasi tampilan gambar TV yang dikoneksikan melalui nirkabel. Otak penonton pun ditipu. Hasilnya gambar 3D pun sesuai dengan alam pikiran penonton.
Sementara penonton televisi pasif bergantung pada polarisasi khusus filter di TV untuk membagi gambar ke komponen mata kiri dan mata kanan.
Untuk itulah ilmuwan menyarankan agar anak-anak di bawah usia 8 tahun tidak terlalu sering menggunakan kacamata 3D saat menonton televisi. Pasalnya otot mata anak-anak masih dalam tahap perkembangan.
22 Oktober 2011 pukul 02.40
pertamax, ilmu baru bertambah nih harus ngurangin nntn film 3D
27 Oktober 2011 pukul 09.43
Oke gan terima kasih, iya bner tu