Tidak bisa dipungkiri bahwasanya
zaman dahulu pernah ada sebuah kadipaten di suatu wilayah ( sekarang Selomanik
) yang merupakan bagian dari pemerintahan kerajaan Mataram pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V. Kadipaten Selomanik tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai perang
Diponegoro. Karena wilayah Selomanik adalah salah satu basis perlawanan
Pangeran
Diponegoro terhadap penjajahan Belanda melalui perang gerilya. Mengingat tekstur geografis/topografis Selomanik dan sekitarnya yang merupakan kawasan hutan lebat berbukit-bukit, maka sangat cocok untuk tempat persembunyian menghindari kejaran tentara Belanda. Untuk lebih jelas, maka di bawah ini akan kita bahas sejarah yang melatar belakangi berdirinya kadipaten Selomanik dan Kaliwiro.
Diponegoro terhadap penjajahan Belanda melalui perang gerilya. Mengingat tekstur geografis/topografis Selomanik dan sekitarnya yang merupakan kawasan hutan lebat berbukit-bukit, maka sangat cocok untuk tempat persembunyian menghindari kejaran tentara Belanda. Untuk lebih jelas, maka di bawah ini akan kita bahas sejarah yang melatar belakangi berdirinya kadipaten Selomanik dan Kaliwiro.
>> SEJARAH KADIPATEN SELOMANIK
Selomanik berasal dari dua suku
kata, ‘Selo & Manik’. Selo berati batu dan Manik berarti permata.
Dinamakan demikian karena di wilayah Selomanik terdapat dua buah batu besar
yang konon menjadi pertapaan seorang tokoh Selomanik yang akan kita bahas di
bawah ini. Dalam sejarah berdirinya Kadipaten Wonosobo tertulis bahwa cikal
bakal Wonosobo bermula dari suatu kadipaten di wilayah Selomanik. Dimana bahwa
pimpinan daerah Selomanik adalah Kanjeng Raden Tumenggung ( KRT ) Kertowaseso.
KRT Kertowaseso adalah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang setia ikut
dalam perang gerilya. Untuk lebih jelas mengetahui sejarah siapa KRT
Kertowaseso mari kita menelusuri latar belakang KRT Kertowaseso. KRT
Kertowaseso adalah seorang Tumenggung di dalam struktur pemerintahan keraton
Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat dalam intern keraton terjadi
kemelut, akibat kebijakan Patih Danurejo yang lebih condong berpihak pada VOC.
KRT Kertowaseso menempatkan dirinya pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut
semakin meruncing dengan kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri urusan
internal keraton, menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan kepada pengusaha-pengusaha
Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Dan yang terakhir, pembuatan
jalan tembus Magelang – Jogja yang melewati dengan membuat patok-patok di atas
tanah makam leluhur tanpa seizin pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro
beserta keluarga dan pengikutnya yang marah kemudian membongkar patok-patok
yang melewati makam leluhur Diponegoro. Akibat tindakan Pangeran Diponegoro dan
pengikutnya maka pada tanggal 20 Juli 1825 pada sore hari, VOC dan bala
tentaranya menyerbu puri kediaman pangeran Diponegoro. Maka terjadilah
peperangan di komplek sekitar puri, sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya
yang setia berhasil meloloskan diri dari blokade tentara Belanda. Selanjutnya
Diponegoro menyingkir ke arah selatan, dan menyusun kekuatan di sebuah goa,
yang kemudian terkenal dengan goa Selarong. Sejak saat itu Pangeran Diponegoro
menyerukan perang sabil atau perang suci melawan kaum kafir Belanda. Ternyata
seruan Diponegoro mendapat simpati dari banyak pangeran, bangsawan maupun
rakyat Mataram yang selama ini sudah muak dengan kesewenang-wenangan Belanda
yang membuat rakyat menderita. Seruan pangeran Diponegoro ternyata juga
mendapat sambutan hangat dari kalangan ulama dan santri. Hal ini bisa mengerti,
mengingat pangeran Diponegoro adalah seorang pangeran yang sejak kecil lebih
menyukai kehidupan religius di pesantren, daripada hidup mewah didalam keraton.
Beranjak dewasa sang pangeran banyak mempunyai sahabat dan menjalin hubungan
akrab dengan kalangan ulama-ulama yang tersebar di penjuru Jawa. Jadi wajar
jika seruan perang Diponegoro banyak mendapat sambutan hangat dan melibatkan
laskar-laskar santri di seluruh wilayah Jawa.
Kembali kepada sejarah KRT
Kertowaseso…. Setelah menyusun kekuatan dari goa Selarong, Pangeran Diponegoro
segera memerintahkan para pengikutnya. Terutama para pangeran yang mahir dan
mengetahui ilmu berperang untuk menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya
untuk menghimpun kekuatan dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di
seluruh Jawa agar bangkit melawan kezaliman Belanda. Termasuk diantaranya
kepada KRT Kertowaseso. Pangeran Diponegoro memerintahkan kepada KRT.
Kertowaseso untuk menghubungi Kyai Alwi atau Ali sahabatnya ( pada waktu itu
orang Jawa biasa memanggil dan menyebut dengan “Kyai Ngalwi” ) di sebuah
pesantren di lembah yang sekarang di namakan Kaliwiro. Kyai Alwi adalah seorang
ulama yang diperkirakan berasal dari daerah Jawa Timur. Beliau datang untuk
berdakwah mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di daerah ini. Mengenai latar
belakang beliau, tidak bisa diketahui secara pasti. Karena memang sangat
sedikit, bahkan bisa di katakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui
latar belakang sejarah Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak
beliau berhubungan dengan KRT Kertowaseso.
Dengan segera KRT Kertowaseso
berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai
di pesantren Kyai Alwi, KRT Kertowaseso mendapat dukungan untuk menghimpun dan
membentuk laskar perang yang terdiri dari santri-santri kyai Alwi. Laskar-laskar
ini sangat penting dan strategis untuk menunjang perang semesta rakyat Jawa.
Disamping itu KRT Kertowaseso juga menempatkan daerah ini sebagai basis
perlawanan dan rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah ini yang
berupa hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam sangat menunjang
untuk medan gerilya. Sehingga akhirnya pangeran Diponegoro pun juga bergerilya
dan membuat basis perlawanan di daerah ini. Kemudian untuk menjaga eksistensi
pesantren dari serbuan tentara Belanda, maka KRT Kertowaseso membuat markas
prajurit di sebuah desa di lereng gunung Lawang. Mengingat betapa
pentingnya peran pesantren dalam pendidikan agama maupun untuk kaderisasi
laskar. Maka perlu dihindarkan keterlibatan pesantren dalam konflik secara langsung,
di dalam perang melawan Belanda. Penempatan markas laskar di desa lereng gunung
Lawang ini kemudian menjadikan KRT Kertowaseso terkenal dengan sebutan Ki Ageng
Selomanik. Sehingga daerah ini kemudian hari terkenal dan di namakan Selomanik.
Hingga pada akhirnya atas perintah Diponegoro, KRT Kertowaseso membentuk sebuah
kadipaten untuk mempermudah menghimpun laskar rakyat. Dalam perjalanan
sejarahnya, kadipaten Selomanik kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
kadipaten Wonosobo. Sampai pada akhir hayatnya KRT Kertowaseso atau Ki Ageng
Selomanik tetap menetap di daerah tersebut dan di makamkan di desa tersebut.
Tidak diketahui secara pasti sebab musabab meninggalnya Ki Ageng Selomanik.
Meninggal karena sakit atau terbunuh dalam perang..? Tidak ada sejarah yang
menuliskan peristiwa itu. Makam beliau hingga sekarang masih terawat dengan
baik dan menjadi salah satu agenda ziarah di setiap hari ulang tahun Wonosobo.
0 comments