Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah terus senantiasa memperingatkan umat dari bahaya
bid’ah dan ahlul bid’ah. Tanggapan dan tuduhan jelek terus dilancarkan
oleh ahlul bid’ah, karena dada mereka terasa sesak tatkala segala
kejahatan dan kesesatan mereka dibongkar oleh ahlus sunnah. Mereka
merasa “keberatan” atas “sikap keras” ahlus sunnah atas segala
penyimpangan yang mereka lakukan.
Mereka
menyatakan : “Kenapa kalian justeru bersikap keras terhadap saudara
sendiri, sementara kalian diam atas kejahatan Amerika dan
sekutunya?!!.” Tak ayal lagi, tuduhan miring pun mereka lontarkan :
“kalian telah menyenangkan musuh-musuh Islam, kalian telah loyal kepada
para thaghut ….dst.”
Mengajak
umat kepada al Haq, dan membantah kebatilan dan para pembawanya
termasuk prinsip terpenting ahlus sunnah wal jama’ah. Prinsip ini
termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang telah diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman tentang Nabi-Nya :
الذين
يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة و
الإنجيل يأمرهم بالمعروف و ينهاهم عن المنكر و يحل لهم الطيبات و يحرم
عليهم الخبائث
“(Yaitu)
orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang dari munkar,
dan menghalalkan bagi mreka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk.” [Al A’raf : 157]
Umat ini pun sebagai umat terbaik, ketika mereka merealisasikan prinsip ini, sebagaimana Allah tegaskan:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف و تنهون عن المنكر و تؤمنون بالله
“Kalian
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, mencegah dari munkar dan beriman kepada Allah.” [Ali
‘Imran : 110]
Ini merupakan akhlaq mereka dengan sesamanya:
و المؤمنون و المؤمنات بعضهم أوليآء بعض، يأمرون بالمعروف و ينهون عن المنكر
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” [At Taubah :
71]
Ketika
prinsip amar ma’ruf nahi munkar ini mulai ditinggal, maka itu
merupakan salah satu sebab kebinasaan suatu kaum. Allah menceritakan
tentang sebab kebinasaan Bani Israil, salah satunya adalah:
كانوا لا يتناهون عن منكر فعلوه، لبئس ما كانوا يفعلون
Mereka
itu satu sama lain tidak mencegah dari kemungkaran yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
[Al Ma-idah : 79]
Bahkan
mencegah saudara sesama muslim dari perbuatan salah merupakan bukti
wala’ seorang muslim terhadap saudaranya, sebagaimana Allah sebutkan
dalam firman-Nya di surat At Taubah:71 di atas.
Rasulullah bersabda:
انْصُرْ
أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا. قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا
نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ : تَأْخُذْ
فَوْقَ يَدَيْهِ
Tolonglah saudaramu yang zhalim maupun yang terzhalimi.
Para
shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jelas kami akan menolong yang
terzhalimi, tapi bagaimana kami akan menolong orang yang zhalim?
Rasulullah menjawab: yaitu (dengan cara) kamu tahan tangannya (agar tidak berbuat zhalim).” [HR. Al Bukhari]
Syaikhul
Islam rahimahullah mengatakan : “Menganjurkan manusia agar berpegang
dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan
tersebar, termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amal
shalih yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan
dengan penuh keikhlashan mengharapkan wajah Allah ” [Minhajus Sunnah
V/253].
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Da’i yang mengajak kepada
satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum
muslimin. Hukuman itu terkadang berupa hukuman mati atau yang lebih
ringan, sebagaimana para salafush shalih membunuh Jahm bin Sufyan, Ja’d
bin Dirham, Ghailan Al Qadari, dan lain-lain. Seandainya dia dianggap
tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka
menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan
men-tahdzir umat supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini
termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.” [Majmu’ul Fatawa XXXV/414]
Membantah
orang-orang munafiq dan para pembawa kebatilan termasuk bagian
daripada jihad fisabilillah. Allah dengan tegas memerintahkan kepada
Nabi-Nya:
يا أيها النبي جاهد الكفار و المنافقين و اغلظ عليهم، و مأواهم النار و بئس المصير
Wahai
Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafiqin, serta
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka adalah
jahannam, dan itu sejelek-jelek tempat tinggal [At Taubah:73]
Mujahid
itu tidak hanya mereka yang terjun di medan tempur dengan mengangkat
senjata. Para pembela agama dari kerusakan, penyimpangan, dan
penyelewengan juga termasuk mujahid. Hal ini sebagaimana ditegaskan
oleh seorang mujahid besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid.”
Al
Imam Al Mujahid Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: “Jihad
melawan munafiqin ini lebih berat daripada jihad melawan orang-orang
kafir. Jihad ini merupakan jihadnya orang-orang khusus dari umat ini,
yaitu para ‘ulama pewaris para nabi. Maka orang-orang yang tampil
menegakkan jihad jenis ini hanyalah segelintir orang saja, demikian
juga orang yang mau membantu mereka hanya sedikit saja. Namun demikian,
meskipun secara jumlah mereka itu sedikit, mereka sangat besar
kedudukannya di sisi Allah.” –sekian dari Ibnul Qayyim-
Yahya
bin Yahya, guru Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim, : MEMBELA SUNNAH
LEBIH UTAMA DARIPADA JIHAD (perang melawang orang kafir!) [Majmu’ Al
Fatawa IV/13].
Al
Imam Al Harawi meriwayatkan dengan sanad beliau dari Nashr bin Zakariya
ia berkata: Saya mendengar Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli berkata:
“Saya mendengar Yahya bin Yahya berkata: “Membela Sunnah lebih utama
daripada jihad fi sabilillah!” Muhammad bin Yahya berkata (keheranan):
“Seorang mujahid telah menyerahkan hartanya, mengerahkan kekuatannya
dan berjihad di jalan Allah, lantas (bagaimana mungkin) pembela sunnah
itu lebih utama daripadanya?”
“Benar, bahkan (pembela sunnah) jauh lebih utama!” jawab Yahya [Dzammul Kalam lembaran A- 111].
Al
Humaidi, salah seorang guru Al Imam Al Bukhari, berkata : Demi Allah,
aku lebih suka menyerang orang-orang yang menolak hadits Rasullullah
daripada menyerang sebanyak itu tentara At Turk” [diriwayatkan oleh Al
Harwi melalui sanadnya sendiri dalam Kitab Dzammul Kalam (288-Syibl)],
Maksud tentara At Turk di sini adalah tentara Kafir.
Saya
menemukan pernyataan serupa dari ‘ulama yang lebih tinggi tingkatannya
daripada Al Humaidi, yaitu Ashim bin Syumaikh bahwa dia bercerita:
“Saya bertemu dengan Abu Sa’id Al Khudri saat beliau sudah lanjut usia
dan tangan beliau sudah gemetaran. Beliau berkata: “Memerangi mereka
(yaitu Khawarij) menurutku lebih utama daripada memerangi tentara
(kafir) Al Atrak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (XV/303) dan
Ahmad (III/33)]
Oleh
sebab itu ketika membicarakan hadits Abu Sa’id tentang perintah
memerangi Khawarij, Ibnu Hubairah berkata : “Dalam hadits ini
dijelaskan bahwa memerangi kaum Khawarij lebih utama daripada memerangi
kaum musyrik. Hikmahnya, menumpas kaum Khawarij ini adalah untuk
menjaga eksistensi Islam. Sementara memerangi ahli syirik adalah untuk
mendatangkan keuntungan bagi Islam. Menjaga keutuhan dan eksistensi
tentu lebih utama” [Fathul Baari karya Ibnu Hajar (XII/410]
Abu
‘Ubaid al Qasim bin Sallam berkata: “Orang yang memegang sunnah ibarat
memegang bara api. MENURUTKU SEKARANG INI MEMPERTAHANKAN SUNNAH ITU
LEBIH UTAMA DARIPADA MENGAYUNKAN PEDANG BERPERANG FIE SABILILLAH”
[Tarikh Baghdad (XII/410)]
Ibnul
Qayyim berkata : “JIHAD DENGAN HUJJAH DAN LISAN LEBIH DIDAHULUKAN
DARIPADA JIHAD DENGAN PEDANG DAN TOMBAK” [Syarah Qasidah An Nuniyah
oleh Muhammad Khalil Haras (I/12) dan silahkan lihat juga Al Jawabus
Shahih oleh Ibnu Taimiyah (I/237)]
Ibnul
Qayyim juga berkata: “Jihad dengan ilmu adalah jihadnya para nabi dan
rasul-Nya, orang- orang pilihan dari kalangan hamba-Nya yang mendapat
karunia taufiq dan hidayah” [lihat muqaddimah Al Kafiyah Asy Syafiyah
hal. 19]
Tapi kenapa menggunakan kata-kata yang keras dan pedas terhadap saudara sendiri?
Ketahuilah, bahwa pada asalnya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dengan halus dan lemah lembut. Allah berfirman:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة و الموعظة الحسنة و جادلهم بالتي هي أحسن
“Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik,
serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [An Nahl : 125]
Allah juga berfirman ketika mengutus Nabi Musa:
اذهبا إلى فرعون إنه طغى فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
“Pergilah
kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas,
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [Thaha : 43-44]
Juga sabda Rasulullah dalam hadits yang dibawakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَ لاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya
kelemahlembutan itu tidaklah dia berada pada sesuatu kecuali pasti
akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan
membuatnya jelek.” [HR. Muslim 2594]
Namun
perlu juga kita pahami di sini,bahwa kelembutan bukan berarti kita
harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Tidak diragukan bahwa
syari’at Islam ini adalah syari’at yang sempurna, datang dengan
membawa tahdzir (peringatan) terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui
batas) dalam urusan agama. Memerintahkan da’wah ke jalan yang haq
dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih
baik. Akan tetapi ternyata syari’at ini sama sekali tidak melupakan
sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah
lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana firman Allah :
يا أيها النبي جاهد الكفار و المنافقين و اغلظ عليهم، و مأواهم النار و بئس المصير
Wahai
Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafiqin, serta
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka adalah
jahannam, dan itu sejelek-jelek tempat tinggal [At Taubah : 73]
…. –sekian Asy Syaikh bin Baz—
Bahkan
terkadang seorang mu’min akan lebih keras dan tegas mengingkari
kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap orang kafir.
Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa mengajak Fir’aun kepada
tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Nabiyullah Harun . Allah
berfirman tentang itu:
و ألقى الألواح و أخذ برأس أخيه يجره إليه
“Dan
Musa pun melemparkan luh-luh (lembaran-lembaran Taurat) itu dan
memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik kearahnya.”
[Al A’raf : 150]
Apakah
kita akan menganggap Nabi Musa tidak memiliki sikap wala’ terhadap
saudaranya Nabiyullah Harun karena berlemah lembut terhadap thaghut
besar tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?
Bandingkan
pula dengan sikap Rasulullah yang menegur shahabatnya sendiri dengan
ucapan yang sangat keras hanya karena masalah “sepele” saja.
Di
dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah dia
mengisahkan bahwa Mu’adz biasa shalat bersama Rasulullah , kemudian
dia kembali ke kaumnya dan shalat mengimami mereka. (Suatu hari) dia
mengimami dengan membaca Surat Al Baqarah. Karena bacaan yang terlalu
panjang itu, ada seseorang yang shalat sendiri dengan memendekkan
shalat, kemudian langsung pergi. Berita ini sampai kepada Mu’adz, maka
dia mencap orang tersebut sebagai munafiq. Kemudian orang itu pun
mengetahui hal itu, maka dia pun datang kepada Rasulullah dan mengadukan
hal itu: “Wahai Rasulullah, kami ini kaum yang bekerja sendiri untuk
mengairi tanaman kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam dengan
membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas.
Lantas dia menuduh saya munafiq.”
Mendengar itu, Rasulullah pun marah dan berkata:
يا معاذ أفتان أنت؟ (ثلاثا). اقرأ : ] و الشمس و ضحاها [ و ] سبح اسم ربك الأعلى [ ونحوها
“Wahai
Mu’adz, apa kau ini tukang fitnah! , apa kau ini tukang fitnah! , apa
kau ini tukang fitnah! . Bacalah (dalam shalatmu) surat “Wasy Syamsi
Wadhuha-ha” dan surat “Sabbihisma Rabikal A’la” atau yang semisalnya.”
Rasulullah
marah besar terhadap Mu’adz atas peristiwa tersebut, padahal beliau
pernah berkata kepada Mu’adz bahwa beliau mencintainya. Apakah kita
kemudian memprotes Rasulullah karena sikap beliau yang “kasar” terhadap
shahabatnya sendiri?
Demikianlah,
terkadang seorang muslim itu lebih keras pengingkarannya terhadap
kebatilan yang dilakukan oleh saudaranya sesama muslim. Itu justru
sebagai bukti kecintaannya terhadap sesama muslim, karena dia ingin
saudara terselamatkan dari adzab Allah sebagaimana dia pun ingin
dirinya terselamatkan dari adzab Allah.
Sikap
yang demikian, bukan muncul dari pendapat, analisa, maupun perasaan,
namun ditegakkan di atas hujjah, ditegakkan di atas bimbingan Al Qur’an
dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman dan pengamalan salaful ummah.
Lihat pula pembahasan tentang prinsip ini pada tulisan berjudul :
“KENAPA SIH KOK BICARANYA KASAR…?” di situs ini
0 comments